Notification

×

Kategori Berita

Tags

Kode Iklan Disini

Kode Iklan Disini

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Seorang gadis sedang duduk di depan cermin

Tuesday, 12 October 2021 | October 12, 2021 WIB Last Updated 2021-10-12T17:12:00Z
Seorang gadis sedang duduk di depan cermin


Hari ini dia akan menikah dengan seorang pria yang notabene adalah tunangan sang kakak. Ah, bahkan gadis itu muak untuk menyebutnya kakak.


Seorang gadis sedang duduk di depan cermin, menatap nanar wajahnya yang telah dirias bak seorang putri raja. Beberapa jam lalu dia diseret paksa dari apartemennya di Sydney oleh orang suruhan sang ayah dan dipulangkan ke Jakarta. Lalu kini dia sedang menunggu saat-saat kehancuran hidupnya.


Bagaimana tidak, tidak ada angin, tidak ada hujan. Tiba-tiba dia dia dihadapkan pada sebuah pernikahan.


Sejak dulu dia tidak pernah dianggap sebagai adik olehnya. Rosaline, gadis yang seharusnya menikah hari ini, yang dibilang orang sebagai kakaknya, sangat baik pada orang lain. Tapi sebaliknya, adiknya tidak pernah dianggap sedikitpun.


Gadis itu tidak tau apa salahnya, sejak kecil dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari keluarganya. Baik ibunya maupun Rosa, mereka membenci Ella setengah mati.


Gadis itu tidak pernah dianggap ada di rumah. Sejak kecil gadis itu dirawat oleh pembantu. Semua kebutuhannya dipenuhi oleh pembantu. Tidak pernah sekalipun dia meminta atau bicara pada keluarganya.


Karena itu, saat lulus SMA beberapa tahun lalu, gadis itu nekat untuk kuliah di Australia. Beruntungnya dia menerima beasiswa karena kecerdasannya.


Berjuang hidup sendiri di tempat asing tanpa keluarga atau teman. Bahkan orang tuanya tidak sedikitpun berniat mencarinya ke Australia. Sejak saat itulah dia membentuk dunianya sendiri, menganggap dirinya sebagai yatim piatu dan berusaha bertahan hidup dengan bekerja paruh waktu setelah jam kuliahnya selesai.


Tapi kini, perjuangannya harus berakhir disini. Di salah satu ruangan dalam gedung hotel bintang lima tempat pernikahannya sedang berlangsung.


Suara pintu terbuka, sepasang suami istri masuk ke dalam kamar tempat dia berdiam diri. Sosok lelaki tua dengan wanita angkuh yang sangat tidak ingin dia lihat sampai mati.


Pria itu mendekatinya dengan tatapan tajamnya. Gadis itu membalas tatapannya. Dia mengernyit saat sekilas dia melihat tatapan teduh penuh rindu yang dia lihat di mata pria yang orang bilang ayahnya.


"Ella..."


Gadis itu membuang mukanya muak, "Ella sudah mati!" ucapnya dingin.


Pria itu menunduk. Sementara sang wanita mendengus mengejek. "Papa harus melakukan ini. Nama baik keluarga kita sudah tercoreng akibat perbuatan Kakakmu-"


"Rosa pasti punya penjelasan, Pa!" sela si wanita.


"Tapi dia tidak melakukannya! Dia tidak menjelaskan apapun pada kita. Dia tiba-tiba pergi begitu saja!" serunya marah.


"Mungkin saja Rosa terpaksa. Atau dia mungkin diculik," balas sang wanita lagi.


"Rosa sudah terbukti bersalah, Ma. Berhenti membelanya! Kamu tau dia terbang ke New York beberapa jam lalu. Dan meninggalkan pernikahannya demi sebuah kontrak kerja!"


"Ella, tolong Papa. Hanya kamu harapan kami sekarang ini." Pria itu beranjak mendekati putrinya, menyentuh bahunya pelan.


Namun gadis itu justru menghempaskan tangan keriput sang ayah. "Kenapa saya harus menolong Anda, memangnya saya yang membuat kekacauan ini sampai saya harus menyelesaikannya?"


"Ella..."


"Anggap saja kamu sedang membalas budi pada kami! Kami sudah merawat kamu bertahun-tahun. Memberikan kehidupan dan pendidikan yang layak untuk kamu. Kalau kamu punya rasa terima kasih, tunjukkan pada kami sekarang!" Tiba-tiba sang wanita menyahut dengan gaya angkuh.


Ella tersentak mendengar perkataannya. Dia menatap nanar wanita yang orang bilang ibunya. Benarkah dia ibunya? ibu mana yang meminta balas budi karena sudah membesarkan anaknya selama bertahun-tahun.


Ella mengalihkan pandangannya, menatap lurus bayangannya sendiri di cermin. "Baik, jika ini bisa membalas budi kebaikan kalian. Saya akan menjalani pernikahan ini. Tetapi berhasil atau gagalnya rumah tangga saya nanti, saya sendiri yang menentukan. Kalian tidak boleh mencampurinya!" serunya.


Lalu dia berdiri, menata gaunnya dan keluar kamar. Dia menuju tempat resepsi pernikahannya dengan sang mempelai pria.


Sesaat sebelum menuju ke ruangan lobby hotel tempat acara pernikahannya berlangsung, gadis itu mengambil nafas sebanyak-banyaknya dan menghembuskannya perlahan.


Dia berusaha mengendalikan diri dan hatinya. Serta mencegah air mata yang sudah akan menetes dari sudut matanya.


Seorang pegawai Wedding Organizer datang menghampirinya. Membimbingnya menuju pelaminan. Saat itulah Ella melihatnya, pria itu, yang baru mengucapkan ijab kabul dengan ayahnya beberapa saat lalu. Pria itu tampak gagah dan tampan dengan setelan jasnya.


Ella berjalan menghampirinya, dengan dibantu oleh orang tadi. Pria itu melihatnya intens, memperhatikannya dari jauh. Sehingga membuat Ella membuang muka karena enggan ditatap seintens itu.


Ella membatin, mungkinkah pria itu sedang membayangkan Rosa saat melihatnya? Ella mendengus. Dia tidak akan membiarkan pria itu menyakitinya, menghancurkan hidupnya.


Ella memutar pandangannya. Pria dan wanita yang mengaku sebagai orangtuanya sudah berada di ruangan yang sama dengannya, menatapnya dari kejauhan.


***


Ella sedang membersihkan wajahnya yang penuh make up di dalam kamar hotel yang sudah disiapkan oleh WO sebagai kamar pengantinnya.


Pria yang harus dia panggil dengan sebutan suami masih di luar. Masih menemui para tamu undangannya yang juga relasi bisnisnya. Ella berdoa dalam hati. Semoga saja dia tidak masuk ke kamar sampai Ella tertidur, karena dia muak melihat wajahnya.


Tapi suara pintu terbuka pelan membuat Ella mendesah. Doanya tidak terkabul. Pasti pria itu juga sudah lelah melayani tamu undangannya, karena itu dia masuk ke kamar.


Sebuah suara lembut dan kecil menyentaknya. Ella menoleh dan melihat seorang gadis kecil sedang berdiri mengintip dari balik pintu.


"Daddy?" ucapnya.


Ella langsung menduga jika dia adalah anak pria itu. Anak suaminya yang berarti adalah anak tirinya. Ella berdiri dari kursi tempatnya duduk.


Gadis kecil itu menatap Ella takut-takut. Tangan mungilnya yang tadi memegang daun pintu kini sedang menggenggam erat ujung gaunnya.


"Daddy?" cicitnya lirih.


Ella berjalan mendekatinya dengan kedua tangan dilipat di depan dada. "Daddy masih di luar," ujarnya.


Gadis kecil itu memberanikan diri mendongak menatapnya. "Aunti siapa? Mommy Rosa mana?" tanyanya.


Ella menyipitkan matanya. Ternyata pria itu tidak memberi tahu putrinya jika calon mommynya melarikan diri di hari pernikahan mereka. Dia tertawa kecil.


"Aunty siapa? Mana Mommy Nana? Kata Granny, Mommy Nana ada disini?"


Ella menatapnya remeh. "Mommy Rosa kamu kabur. Dia lari dari Daddy kamu. dia hilang, mungkin sekarang sudah mati," seringainya.


Anak kecil itu terkejut. Dia menggeleng lemah. Matanya yang bulat kini mulai berkaca-kaca. "Bohong! Aunty bohong! Mommy Rosa nggak mati! Mommy Rosa udah janji sama nana. Mommy Rosa nggak akan mati kayak Mommy Nadya. Aunty bohong!" serunya.


Air matanya sudah turun membasahi pipinya yang berwarna merah. Gadis itu mulai menangis terisak.


"Kalo kamu nggak percaya, tanya aja sama Daddymu. Aunty nggak bohong kok!" balas Ella ketus. Gadis itu duduk di atas meja rias. Matanya menyipit, mengamati tubuh mungil bocah cantik yang mulai meneteskan air mata itu.


Nana menangis kencang sambil berteriak-teriak. "Aunty bohong! Aunty jahat! Nana benci Aunty!" isaknya.


Ella mendengus tak peduli. Lalu berjalan ke arah lemari, mengambil pakaian ganti dari dalamnya tanpa mempedulikan anak tirinya yang menangis terisak-isak memanggil daddynya.


Tak lama kemudian seorang pria masuk ke kamarnya dengan wajah panik. Ali langsung memeluk putri kecilnya itu menepuk-nepuk punggungnya pelan.


"Nana kenapa nangis, Sayang?"


Nana memeluk erat leher sang ayah, menenggelamkan wajah mungilnya disana. Sembari terisak, gadis kecil itu bertanya pada sang ayah, "Mommy Rosa kemana, Dad? Mommy Rosa nggak mati kan, Dad?"


Aliandra terkejut mendengar pertanyaan Nana. Dia ganti menatap Ella yang balas menatapnya dengan santai.


"Apa?" tanya Ella ketus karena Aliandra menatapnya tajam. Seakan bisa mengulitinya dengan tatapannya itu.


"Kamu yang bilang sama Nana?" geramnya.


Ella mengendikkan bahunya. "Tadi dia tanya dimana Mommynya. Ya saya bilang dia kabur, mungkin mati," jawabnya santai. Gadis itu mengabaikan wajah merah dan tegang Aliandra.


Kemudian Ella berniat berjalan ke kamar mandi. Hendak mengguyur tubuhnya dengan air hangat yang mungkin bisa meredakan lelahnya karena berdiri memasang senyum pura-pura seharian.


Tapi sebuah cekalan tangan kekar menghentikannya. Ella tersentak kaget saat tubuhnya diseret dan menabrak lemari tempat dia mengambil baju ganti tadi.


Ella merintih kesakitan karena punggung dan lengannya terbentur kayu lemari yang keras. Matanya menatap tajam pelaku yang menyeretnya. Dan dia pun mendapatkan tatapan tak kalah tajam pula dari pria yang membuatnya kesakitan itu.


Aliandra menggertakkan giginya. Cengkeramannya pada lengan Ella kian erat seakan dia sedang berusaha meremukkan tulang-belulang gadis tersebut. Di gendongannya, sang putri menangis kejar. Dan itu membuat amarahnya kian tersulut.


Ella melotot karena kesakitan. Dia ikut menggeram seperti Aliandra. "What the-" Makiannya terhenti karena Aliandra terlebih dahulu mendorong keras punggungnya sehingga sekali lagi menabrak lemari


"Tutup mulut kamu! Jangan pernah kamu bicara sepatah kata pun pada anak saya! Dan jangan pernah dekati dia jika kamu tidak ingin merasakan yang lebih sakit dari ini!" seru Aliandra marah.


Dihempaskannya tubuh Ella kencang sampai gadis itu jatuh terduduk di lantai. Sementara dia berlalu keluar sembari menenangkan putrinya.


Ella meringis menahan sakit. Matanya berkaca-kaca karena rasa sakit yang dia rasakan. Dia menepis rasa sakit itu dengan cepat.


***


Setelah kejadian di kamar hotel itu, esok paginya Ella dijemput oleh sopir yang mengaku ditugaskan oleh suaminya. Dan mengantarnya ke sebuah rumah milik suami barunya itu.


Pria itu tidak kembali ke kamar pengantin mereka setelah kejadian itu. Entah tidur dimana dia. Ella tidak mau memikirkannya.


Selama seminggu setelah menikah, Ella bahkan tidak pernah melihat pria itu. Juga putrinya. Tapi sesekali pernah dia mendengar suara anak kecil sedang bernyanyi di kamar atas.


Ella menduga anak itu sedang ada di kamarnya. Meskipun dia tidak pernah melihatnya. Mungkin saja ayahnya melarangnya keluar kamar agar tidak bertemu Ella.


Entahlah. Ella tidak memikirkannya. Setidaknya dia bisa tenang. Tidak terganggu dengan wajah-wajah yang yang bisa membuatnya kesal.


Gadis itu berjalan menuju ruang makan dan duduk di salah satu kursi yang ada disana. Dia mengambil dua lembar roti dan mengolesinya dengan selai. Lalu meletakkannya di piring. Kemudian mengambil gelas dan mengisinya dengan susu.


Ella sudah akan melahap rotinya, tapi terhenti saat dia menangkap suara langkah kaki kecil mendekat ke arahnya.


Nana mendekat ke arah meja makan dengan takut-takut menatap Ella. Gadis kecil itu memanggil-manggil pengasuhnya. "Mbak Rum...Mbak Rum...!"


Tidak ada sahutan. Ella tau jika Arumi, pengasuh Nana sedang ke pasar. Tadi wanita itu berpamitan padanya. Dan Mbok Inah, pembantunya yang lain sedang menyapu halaman depan.


"Mbak Rum...!" panggilnya lagi.


"Mbak Rum lagi ke pasar," ujar Ella singkat


Nana menoleh pada Ella, menatapnya takut. "Mbok Inah!"


"Mbok Inah lagi nyapu halaman depan," jawab Ella lagi.


Ella tau anak itu memperhatikannya tapi dia tidak menggubrisnya. Lalu gadis itu melahap rotinya dengan tenang seolah tidak ada makhluk lain di dekatnya.


Nana menelan air liurnya melihat Ella makan dengan nikmat. Dia juga ingin menikmati roti dan susu seperti gadis itu.


Gadis kecil itu berusaha memanjat kursi meja makan dengan susah payah. Ella tidak berusaha membantunya dan hanya diam sambil menikmati sarapannya.


Karena terlalu bersemangat menaiki kursi, tanpa sengaja tangan Nana menarik taplak meja dan mengakibatkan piring dan gelas yang ada di atas meja melorot dan jatuh.


Bunyi pecahan itu mengagetkan Prilly. Gadis itu refleks menghampiri Nana dan menanyakan keadaannya. Nana menangis kencang karena terkejut dan takut dimarahi Ella sebab memecahkan piring dan gelas.


Nana tidak tau jika Ella berniat menolongnya dan menyingkirkan pecahan gelas yang mungkin bisa melukai Nana.


Suara ribut-ribut membuat semua orang berlari menuju ruang makan. Mbok Inah dan Pak Sarto yang terlebih dahulu datang.


"Masya Allah! Non Nana!" pekik Mbok Inah panik saat melihat Nana yang menangis kencang.


Mendengar suara tangis putrinya, Aliandra berlari masuk ke ruang makan. Dia tadinya berniat mengambil berkas yang ketinggalan di rumah. Tapi dia dikejutkan oleh keributan di dalam rumah.


Pria itu melihat Nana, putri kecilnya sedang menangis kencang. Berdiri di depan Ella yang sedang berjongkok memegang pecahan gelas.


Aliandra mengepalkan tangannya kuat-kuat. Rahangnya pun mengeras. Dia murka melihat air mata putrinya. Pria itu menduga pasti Ella yang membuat Nana menangis.


"Nana!" Aliandra berlari ke arah putrinya yang sedang digendong oleh Mbok Inah.


"Daddy!" pekik Nana. Lalu gadis kecil itu berhambur ke pelukan daddynya.


Aliandra mengusap-usap punggungnya berusaha meredakan isakan nana. Matanya menatap tajam Ella yang sedang membersihkan pecahan gelas dibantu oleh Mbok Inah.


Aliandra berjalan mendekatinya, lalu mendorongnya kasar hingga tubuh gadis itu mundur ke belakang. Keningnya membentur kaki kursi. Tangannya pun tergores pecahan gelas yang tadi dia bersihkan.


"Jangan pernah kamu sentuh putri saya!" teriak Aliandra di depan wajahnya. Kemudian pria itu berlalu keluar rumah sambil membawa Nana.


Ella menyentuh dahinya yang terbentur kaki meja. Darah segar membasahi telapak tangannya. Juga dahinya. Mbok Inah memekik kaget melihat keadaan Ella.


"Astaga! Non Ella!"


Perempuan tua itu berusaha membantu Ella untuk berdiri dan menyingkirkan pecahan gelas di tangannya.


"Non, kepala Non Ella berdarah!" ucap Mbok Inah kaget melihat darah menetes dari dahi Ella.


Ella sendiri terkejut dengan banyaknya darah yang menetes, membasahi pelipis dan pipinya. Dia pun ikut panik. Ella mencoba berdiri tapi entah kenapa tiba-tiba dia merasa pusing. Tubuhnya limbung dan pandangannya pun menggelap.


Bab 2 : Like a monster


Aliandra menurunkan Nana ke atas sofa ruang kerjanya. Gadis kecil itu langsung berbaring meringkuk di sofa. Masih tersisa isakan-isakan kecil di bibirnya.


Dia meletakkan tas dan jasnya yang tadi sudah dia lepas saat di mobil ke atas meja kerjanya. Lalu dia berbalik menghampiri nana. Memangku kepala gadis kecil itu.


Sembari mengelus rambut panjang Nana yang halus, Aliandra bertanya padanya kejadian yang tadi membuatnya menangis kencang.


"Aunty Ella tadi ngapain Nana? Sampe Nana nangis kejer gitu?" tanya Aliandra.


Nana menggeleng pelan. Aliandra melihatnya bingung. Dia menghela nafas panjang. Pasti gadis jahat itu sudah mengancam putrinya agar tidak mengadu padanya.


"Nana bilang aja sama Daddy, sayang. Nana ngga usah takut ya. Ayo Nana bilang tadi Nana diapain sama Aunty Ella?" bujuk Aliandra pada Nana.


Si kecil Nana bangkit dari pangkuan Aliandra dan duduk di sebelahnya. Menatap Aliandra dengan mata yang merah. Karena terlalu banyak menangis.


"Aunty Ella nggak ngapa-ngapain nana kok, Dad," jawabnya sesenggukan.


Aliandra tertegun. "Terus tadi Nana kenapa nangis?"


Nana menunduk takut. Tidak mau memandang wajah daddynya. "Um... tadi, Nana... Nana..." ucap Nana ragu-ragu.


Aliandra mengusap rambut Nana lembut. "Nana kan anak baik. Jadi anak baik harus jujur. Nana anak baik kan?" tanyanya


Nana mengangguk pelan dengan kepala masih menunduk. Enggan menatap daddynya.


"Nana... "


Aliandra menatap putri kecilnya. Menunggu Nana meneruskan kata-katanya.


"Daddy nggak akan marah kan sama Nana?" tanya Nana takut-takut.


Aliandra menggeleng. "Kalau Nana mau jujur, Daddy janji nggak akan marah," jawabnya.


Gadis kecil itu mengerucutkan bibirnya yang mungil. Membuatnya makin imut saja. "Nana tadi nggak sengaja jatuhin piring sama gelas. Terus Nana kaget. Nana takut dimarahin Aunty Ella. Makanya Nana nangis, Dad," ujar Nana.


"Terus Aunty Ella marahin Nana nggak?"


Nana menggeleng pelan. Aliandra menghela nafas panjang. Syukur, batinnya. Nana tidak sempat menerima kata-kata buruk dari gadis itu lagi.


Aliandra takut jika putrinya kembali mendapat kata-kata sadis dari mulut pedas Ella. Karena itu bisa membawa dampak buruk bagi Nana. Tidak baik untuk perkembangan psikis Nana.


Aliandra memeluk putrinya erat. Mengecup puncak kepalanya berkali-kali. Untung saja dia cepat datang dan bisa menyelamatkan Nana dari Ella.


"Tapi Aunty Ella nggak ada nyakitin Nana, kan?" tanyanya.


Nana menggeleng. "Nggak, Dad. Tadi Aunty Ella mau bersihin pecahan gelas di sandal Nana. Tapi Nana nggak sengaja injek tangan Aunty Ella. Tangan Aunty Ella keluar darah. Nana takut..." cerita Nana pada Aliandra


Aliandra mendesah pelam. Sedikit rasa sesal membayanginya. Ella tidak bermaksud menyakiti Nana. Nana menangis karena ketakutan sendiri pada Ella.


Nana trauma pada kata-kata pedas dan tajam gadis itu. Karenanya Nana takut padanya. Jangankan Nana, dia sendiri trauma padanya. Takut jika Ella berlaku kasar pada Nana. Mengingat bagaimana perlakuannya pada Nana kala itu.


Aliandra menggendong Nana. Lalu berjalan menuju meja kerjanya. Hendak mengambil ponselnya yang tadi dia letakkan disana. Berniat untuk menelpon ke rumah.


Dia ingin menanyakan kabar Ella. Seingatnya tadi dia mendorong gadis itu dengan kasar hingga Ella terbentur kursi. Dia ingin memastikan Ella baik-baik saja.


Meskipun gadis itu kurang ajar dan bermulut tajam, tapi dia tetaplah istrinya. Istri yang dia nikahi secara sah. Meski hanya untuk status.


Baru saja Aliandra akan menghubungi rumah, ponselnya keburu bergetar. Dia mengernyit saat melihat panggilan dari rumahnya.


Dengan segera dia mengangkat panggilan itu.


"Hallo"


"Tuan..."


"Iya mbok. Ada apa?" tanya Aliandra saat mendengar suara Mbok Inah, pembantunya.


"Non Ella pingsan, Tuan. Kepalanya berdarah," ucap wanita tua itu dengan panik.


Aliandra terkejut. Apa mungkin akibat terbentur kursi tadi? Seketika dia pun ikut merasa panik. Jangan sampai gadis itu kenapa-napa. Dia sudah berjanji pada ayahnya akan menjaga dan menjadi suami yang baik untuknya.


Lalu bagaimana keadaan Ella sekarang? Apa dia baik-baik saja? Bagaimana kalau nanti dia mengalami gegar otak? Bisa-bisa nanti dia dituntut oleh keluarga Hermawan.


"Tuan..." suara Mbok Inah kembali terdengar karena Aliandra tak kunjung menjawab perkataannya tadi.


Aliandra tersadar dari pikiran buruknya. "Ah iya, Mbok. Saya akan hubungi Radit sekarang biar dia datang dan periksa Ella. Sementara Mbok Inah jagain dia dulu! Saya akan segera pulang," pesan Aliandra pada wanita tua itu.


"Baik Tuan," jawab Mbok Inah lalu menutup sambungan telepon.


Aliandra pun segera menghubungi Radit, sahabatnya yang berprofesi sebagai dokter untuk datang ke rumah dan memeriksa keadaan Ella.


Setelah itu buru-buru dia keluar dari kantornya untuk pulang sambil menggendong Nana. Membatalkan semua jadwalnya untuk hari ini.


***


Aliandra masuk ke rumah dengan tergopoh-gopoh. Menggandeng Nana di sebelah kirinya. Begitu sampai ruang tengah, Aliandra langsung berteriak memanggil Rumi.


Yang dipanggil datang dengan tergesa-gesa. Menyapa Aliandra sekilas lalu mengambil tangan Nana dari gandengan Aliandra. Membawanya masuk ke kamarnya.


Sementara Aliandra melangkah menuju kamar Ella yang terletak di lantai bawah. Dekat dapur. Di samping kamar Rumi dan Mbok Inah.


Ya. Ella menempati kamar yang biasanya diperuntukkan untuk pekerja rumah tangga seperti Rumi dan Mbok Inah.


Aliandra memang keterlaluan. Istrinya yang cantik disuruh tidur di kamar kecil yang sangat tidak layak baginya. Bagi seorang nyonya rumah. Aliandra sudah terlanjur membenci pada gadis itu.


Perlakuannya pada Nana di hari pernikahannya tempo hari sudah membuat rasa simpatinya pada gadis itu menghilang sudah. Aliandra yang tadinya merasa bersalah dan kasihan karena Ella menjadi korban untuk menutup rasa malu keluarganya dan keluarga Hermawan, berbalik membencinya.


Kini dia tau kenapa kedua orang tuanya terkesan tidak peduli dan menganggapnya ada. Memang karena kelakuannya sendiri yang urakan, sombong dan bermulut tajam.


Aliandra membuka pintu kamar Ella perlahan. Tatapan tajam menusuk dari Radit yang pertama menyambutnya. Pria itu sedang berdiri di sisi kasur Ella dengan pandangan kesal. Tangannya bersindekap di depan dada.


Aliandra mengacuhkan pandangan mengintimidasi Radit. Lalu beranjak mendekati Ella. Dia melihat gadis itu tertidur dengan kepala dan telapak tangan kanan yang terbelit kain perban.


Aliandra meneliti wajah Ella yang terlihat pucat. Bibirnya yang tipis berwarna putih dan kering.


"Gimana keadaannya? Dia baik-baik aja kan? Nggak gegar otak kan? Amnesia?" tanyanya beruntun pada Radit.


Radit menghela nafas kasar. Berdecak pelan. Lalu duduk di sebuah kursi plastik yang ada di ujung ruangan. Di samping kanan lemari.


"Gila ya lo! Salah dia apaan coba sampe lo kasih dia tidur di kamar pembantu," cerca pria itu tak habis pikir dengan jalan pikiran sang sahabat.


"Tadinya gue pikir Mbok Inah nyuruh gue bawa dia ke kamar ini karena nggak berani masuk kamar elo. Taunya kamar dia emang disini. Gila! Gila parah lo, Al!"


Aliandra mendengus. Beranjak menuju pintu kamar setelah melihat keadaan Ella yang tidak mengkhawatirkan, pria itu berlalu begitu saja dari kamar Ella. Tanpa repot-repot menanggapi ucapan Radit.


Radit menggeleng heran. Aliandra berubah. Dia tau Aliandra sudah berubah 360 derajat setelah kematian Nadya, ibu kandung Nana. Aliandra yang dulu ramah, hangat dan murah senyum menjadi pria dingin yang tidak peduli pada orang lain.


Yang dia pedulikan hanya Nana. Tidak ada yang lain. Aliandra bahkan terkesan menjauhi semua orang. Entah keluarga maupun teman-temannya. Hanya Radit seorang yang mampu bertahan dengan sikap Aliandra yang sekarang.


Tapi saat ini Aliandra berubah menjadi lebih buruk lagi. Pria itu bahkan sudah tega bersikap kasar pada seorang wanita. Apalagi wanita itu adalah istrinya sendiri. Istri yang baru dia nikahi beberapa hari yang lalu.


Radit sangat kaget begitu mendengar cerita Mbok Inah, tentang sebab Ella terkulai tidak sadarkan diri dengan darah menetes dari pelipis juga telapak tangan kanannya.


Aliandra benar-benar berubah. Aliandra yang sekarang bahkan seperti monster. Tega menyakit wanita. Meskipun alasannya untuk melindungi Nana, tapi tidak seharusnya Aliandra berlaku seperti itu pada istrinya.


Rupanya kehilangan wanita yang dia cintai dua kali membuat Aliandra setengah gila, pikir Radit. Masih setengah. Tunggu sampai dia kehilangan orang yang dia cintai sekali lagi. Dan Radit akan dengan ikhlas mengantarkannya ke rumah sakit jiwa.


***


Ella mengernyit. Mencoba membuka matanya yang terasa sangat berat. Pusing. Hal pertama yang dia rasakan. Dia ingin membuka mata tapi rasa sakit di kepalanya benar-benar menyiksa.


Samar-samar dia melihat dari celah kelopak matanya yang terbuka, sosok gadis kecil sedang duduk di kursi plastik sebelah kasur tempat dia berbaring.


Ella langsung mengenali gadis kecil itu sebagai anak tirinya. Namun Ella tidak sanggup membuka mata lebih lebar lagi.


Gadis kecil itu terlihat sedang menunduk. Serius mencoret-coret buku di atas nakas samping kasur Ella. Entah apa yang dia buat.


Ella mendesis. Berusaha sekuat tenaga membuka matanya. Menggerakkan tangannya. Meraih pinggiran kasur untuk membantunya bangun.


Suara rintihan kesakitan Ella membuat Nana tersentak kaget. Gadis kecil itu buru-buru turun dari kursi. Bersembunyi di baliknya. Melihat Ella yang sudah mulai bergerak-gerak berusaha bangun.


Nana mengintip pergerakan Ella dari balik kursi. Gadis itu terlihat bersandar di sandaran tempat tidur. Lalu menggapai gelas berisi air putih di atas nakas.


Karena fisik Ella yang masih lemah dan pandangannya yang kabur, tanpa sengaja gelas yang digapai terjatuh. Membuatnya dan Nana sama-sama kaget.


Ella mengumpat pelan. Memegangi kepalanya yang terasa pusing kembali. Sebuah langkah kaki terdengar mendekat.


Ella tidak mengetahui siapa karena kini gadis itu kembali memejamkan matanya. Suara seorang pria mendengus mengejek.


Mbok Inah yang ikut masuk langsung membawa Nana untuk keluar dari kamar Ella. Meninggalkan Aliandra dan Ella berdua disana.


ella pun langsung paham tanpa perlu membuka mata. Suami kejamnya yang sudah membuatnya seperti ini.


"Kenapa kepala kamu?"


Ella tidak berniat menjawab ataupun bicara dengannya. Tidak sudi melihat pria iblis itu yang tega berbuat kasar pada wanita. Pria brengsek.


"Jangan sok lemah dan merasa begitu teraniaya. Saya tau kekuatan wanita kejam seperti kamu lebih dari ini. Berhenti berpura-pura!" ujar Aliandra sinis.


Seketika darah Ella mendidih mendengar perkataan Aliandra. Bukannya dia yang harusnya Ella bilang kejam? Kenapa kini Ella yang dia kambing hitamkan? Saat ini dia yang terluka akibat perbuatan Aliandra. Kenapa justru sekarang Ella yang dianggap sebagai pelakunya?


Dengan marah, Ella membuka matanya lebar-lebar. Amarah sudah mengebalkannya dari rasa sakit. Menatap Aliandra dengan tajam. Seolah menghunusnya dengan pedang tak kasat mata.


"Apa anda bilang, Tuan? Siapa yang kejam? Bukan saya yang menganiaya wanita sampai jatuh pingsan tadi pagi. Bukan saya yang menyalahkan orang tanpa mengetahui kebenarannya!" ucap Ella marah.


Aliandra tertawa mengejek. "Air mata anak saya sudah menunjukkan satu kebenaran. Sebuah kesalahan sudah menerima tawaran Papa kamu untuk menikahi kamu. Saya menyesal mengambil keputusan saat saya sedang kalut."


Tenggorokan Ella tercekat. Matanya memanas. Rasa marah bergemuruh di dadanya. Pria itu menginjak-injak harga dirinya.


Tapi dia tidak menangis meskipun batinnya terluka. Dia sudah kebal akan rasa sakit dan hinaan seperti ini sejak masih kecil.


Ella mengepalkan tangannya kuat-kuat. Gadis itu menggeram emosi. Amarahnya menumpuk pada pria itu. Sejak awal mereka bertemu, pria itu sudah merendahkannya. Bersikap kasar padanya.


Tadi pagi dia membuat Ella pingsan dan sekarang lagi-lagi pria itu menghinanya. Jika tidak sedang lemah seperti sekarang, mungkin Ella sudah melempar semua benda di dekatnya pada pria itu.


"Ingat! Jangan pernah sentuh anak saya! Jangan dekati dia! Jangan bicara pada Nana sedikitpun! Atau kamu akan menyesal!" ancamnya pada Ella.


"Saya juga nggak sudi ngomong sama kamu dan anak kamu! Saya benci kalian berdua! Asal kamu tau, harusnya saya yang marah sama kamu! Kamu udah menghancurkan hidup saya!" teriak Ella histeris.


Gadis itu benar-benar marah. Matanya memerah. Ella terluka. Dia sakit. Dalam batinnya dia ingin berteriak. Kenapa semua orang membencinya? Kenapa semua orang ingin menyakitinya?


Tidak cukupkah pengorbanannya? Tidak cukupkah penderitaannya selama ini? Kenapa nasibnya masih saja begini. Menjadi seseorang yang tidak dianggap sama sekali. Diperlakukan seperti sampah.


Aliandra tidak menjawab. Pria itu memilih mengacuhakannya. Lalu berlenggang santai keluar dari kamar Ella. Diikuti segala macam umpatan oleh gadis itu untuknya.


Ella pun akhirnya meneteskan air matanya. Badannya yang sudah lemas. Kini makin bertambah lemas karena perkataan Aliandra barusan.


Memang bagi Ella tidak seorangpun yang baik di dunia ini. Hanya El satu-satunya sahabat terbaik yang dia miliki. Ella menangis tersedu. Dia butuh El.


***


"Non Ella minum dulu. Terus makan. Habis itu minum obatnya, Non..." ucap Mbok Inah sembari membawakan nampan berisi semangkok bubur, segelas air putih dan obat-obatan ke hadapan Ella.


"Makasih," ucap Ella kemudian menerima bubur dari tangan Mbok Inah. Bersiap melahapnya.


"Mau saya suapin, Non?" tanya wanita tua itu.


Ella menggeleng pelan sebagai jawaban. Mbok Inah diam di samping tempat tidur Ella yang kecil. Menunggui majikan barunya itu menyelesaikan makan.


Mbok Inah tanpa sengaja melihat sebuah kertas di atas nakas. Wanita itu tersenyum saat melihat tulisan di kertas itu.


Ella memberikan mangkok bubur yang sudah kosong pada Mbok Inah. Lalu mengambil gelas dan meminumnya. Kemudian menerima obat yang diberikan wanita tua itu.


"Non Ella butuh sesuatu lagi?" tanya Mbok Inah.


Ella menggeleng. "Nggak, Mbok. Mbok bisa keluar. Saya mau istirahat," jawabnya.


Wanita itu tersenyum. Lalu memberikan kertas yang tadi dia temukan di atas nakas. "Ini Non, buat Non Ella. "


Ella yang baru saja terpejam, kini membuka mata. Melihat kertas yang disodorkan oleh Mbok Inah.


"Itu Non Nana yang buat. Tadi dia nungguin Non Ella waktu Non pingsan. Terus dia minta kertas sama crayon. Saya kira buat apa. Ternyata buat ini," ucap Mbok Inah sambil tersenyum.


Ella tertegun melihat coretan di atas kertas putih itu. Gambar emoticon smiley. Bertuliskan "I'm sorry Aunty. Maafin Nana yah."


Mbok Inah keluar dari kamar Ella sambil membawa bekas makan Ella. Meninggalkan gadis cantik itu yang terdiam mengamati kertas yang Nana tinggalkan di atas nakasnya.


***


Mata Ella mengerjap pelan. Samar-samar dia mendengar suara tangis anak kecil dari luar kamarnya. Ella melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam. Gadis itu pun berusaha bangkit untuk melihat siapa yang tengah menangis malam-malam begini.


Keluar kamar, Ella menuju ke arah tangga. Naik ke atas menuju ke asal suara. Ternyata saat Ella mendekat, gadis itu tidak hanya mendengar suara tangisan anak kecil, tapi juga suara dua orang yang sedang berusaha meredakan tangisan anak itu.


Ella mengintip dari pintu kamar yang terbuka, Nana tengah menangis di gendongan Rumi, pengasuhnya. Sedangkan di belakangnya ada Mbok Inah yang berusaha membujuk anak itu agar tidak terus menangis.


"Mommy... Mommy Nana mana? Hiks... Nana mau Mommy Nana..." tangis Nana.


Ella terdiam. Ada rasa sedih melihat keadaan Nana sekarang. Bocah itu terlihat berantakan dengan rambut berantakan, wajah memerah dengan air mata dimana-mana. Sedang meringkuk di gendongan Rumi sambil terus menangis.


Sedikit rasa iba muncul di hatinya. Ingin rasanya Ella masuk kesana. Dan mengambil alih Nana dari Rumi. Lalu menenangkan tangisannya.


Entah kenapa melihat Nana yang sedang menangis selalu saja mengingatkan dia akan masa kecilnya. Ella merasa ada kesamaan antara dirinya dengan bocah itu. Sama-sama rapuh dan membutuhkan kasih sayang.


"Nana jangan nangis terus, dong. Nanti Daddy marah loh kalau tau Nana nangis gini," ujar Rumi pada Nana.


Tapi anak itu tetap tidak berhenti menangis. Mbok Inah keluar kamar dan memergoki Ella di depan pintu kamar Nana. "Non Ella?"


Ella tergagap. Gadis itu tersenyum tipis pada Mbok Inah. "Non kok ada disini?" tanya Mbok Inah padanya.


"Em-itu. Tadi saya kebangun pas denger Nana nangis," jawabnya.


"Iya, Non. Nana nangis terus dari tadi."


"Emang kenapa dia nangis, Mbok?"


"Tadi udah tidur, Non. Terus kebangun. Mimpi buruk kayaknya. Manggil-manggil Non Rosa terus dari tadi."


Ella terdiam. Mungkinkah Nana merindukan Rosa sampai bisa seperti itu? Ella mendesah pelan. "Daddynya kemana, Mbok?"


"Tuan tadi mendadak berangkat ke luar kota, Non. Buru-buru banget. Katanya ada urusan penting."


Ella menatap Nana lama." Saya permisi ke bawah dulu ya, Non. Mau ngambil kompres buat Nana. Badanya agak anget," pamit Mbok Inah pada Ella.


Ella mengangguk. Gadis itu terdiam di depan pintu sementara Mbok Inah turun ke dapur. Menatap sendu pada Nana yang masih sesenggukan. Jika saja dia tidak terhalang rasa takut pada Aliandra, pasti dia sudah masuk dan mencoba menenangkan Nana. Tidak tega rasanya melihat Nana menangis hingga seperti itu.


Gadis itu memilih mundur. Lalu kembali ke kamarnya. Lebih baik dia diam di kamarnya daripada nanti mendapat amukan lagi dari Aliandra.


Bab 3 : I Hate You


Ella keluar dari kamarnya pagi ini. Kemarin seharian tiduran di kamar membuatnya mual. Sial! Dia tidak pernah merasa seburuk ini, pikirnya. Dua tahun berada di negeri kanguru, dia tidak pernah sakit.


Hanya sebatas kelaparan dan kelelahan karena bekerja paruh waktu di restoran sepulang kuliah. Selebihnya dia baik-baik saja. Tapi baru seminggu dia berada di Indonesia, sudah dua kali dia merasa kesakitan.


Pertama di hari pernikahannya, dan yang kedua kemarin. Hanya karena masalah sepele, Nana. Gadis kecil itu membuat Ella diperlakukan tidak manusiawi oleh ayahnya. Ella mendesah pelan. Mungkin akan ada yang ketiga, keempat dan seterusnya. Perlakuan kasar yang akan dia terima jika dia dekat-dekat dengan monster kecil itu.


Ella menarik kursi meja makan lalu duduk disana. Menuangkan jus jeruk ke dalam gelas. Lalu meneguknya hingga habis setengah. Seharian kemarin dia dirawat oleh Mbok Inah seperti sedang sakit parah. Padahal Ella sudah menolak. Tapi wanita tua itu ngeyel ingin melayaninya.


Mbok Inah membuat Ella teringat pada Bi Siti, pengasuhnya dulu di rumah orang Tuanya. Wanita tua penuh kasih sayang yang mengasuhnya sejak bayi. Dia yang memenuhi kebutuhan Ella, memperhatikannya,


menyayanginya saat semua orang tidak peduli padanya. Saat semua orang hanya melihat RosAline seorang.


Ella membatin, apa kabarnya Bi Siti sekarang. Masih sering merasa linu di tulang-tulangnya kah? Mengingat dulu wanita tua itu sering mengeluh akibat linu dan nyeri di sendinya. Dia berniat akan mengunjunginya nanti jika dia sudah lebih baikan dari sekarang. Ya pasti dia akan mengunjungi wanita tua itu meski nanti resikonya dia akan bertemu dengan ibunya.


Ella terlalu sibuk melamun sampai tidak mendengar langkah kaki kecil yang berjalan mendekatinya. Nana berdiri tak jauh darinya yang sedang duduk melamun.


Nana memperhatikan wajah datar Ella yang memandang kosong lurus ke depan. Wajah alami Ella tanpa kesan jutek dan sinis seperti saat mereka bertemu. Nana ingat kemarin saat Ella dengan wajah panik Ella saat


memeriksa kaki Nana kemarin. Sebenarnya maksudnya baik, tapi Nana sudah terlanjur mencapnya jahat. Jadi Nana ketakutan sendiri saat Auntynya itu mendekatinya. Ella bermaksud membersihkan pecahan beling di sandal Nana.


Tapi Nana yang ketakutan malah tak sengaja menginjak tangan Ella. Hingga telapak tangannya tergores pecahan gelas. Dan darah yang keluar dari sana membuat Nana takut sampai menangis.


Nana kemarin sudah menulis surat permintaan maaf untuk Auntynya itu di kertas. Dan dia letakkan di atas nakas. Nana


berharap Ella mau memaafkan dan mau berteman dengannya.


"Aunty..." Nana berucap dengan suara yang begitu kecil.


Ella masih diam melamun. Tidak mendengar panggilan Nana.


"Aunty..." panggil bocah itu sekali lagi. Kali ini sedikit lebih kencang agar terdengar oleh Ella.


Nana mencembikkan bibirnya kesal karena Ella masih juga belum mendengar panggilannya. Bocah itu menatap Ella yang


menikmati jus jeruk di gelasnya. Meminumnya dengan santai sambil melamun. Nana berinisiatif mendekatinya. Berdiri di samping Ella. Mendekatkan wajahnya kepada Auntynya. Lalu tanpa pikir panjang Nana pun berteriak kencang mengagetkan Ella.


"Aunty Ellayyy!!!" teriak Nana kencang.


Ella yang sedang melamun pun sontak terkejut. Jus jeruk yang ada di mulutnya menyembur keluar. Ella terbatuk-batuk karena sisa air jeruk masuk ke hidungnya.


Nana terkekeh kecil melihat wajah Ella yang lucu saat sedang kaget. Bocah itu mundur beberapa langkah menjauhi Ella. Ella segera menyabet tisu di atas meja. Membersihkan mulut dan hidungnya yang terkena air jus jeruk. Juga mengelap meja makan yang terkena semburannya.


Setelah dirasa cukup, Ella menoleh pada obyek yang telah membuatnya hampir mati karena kaget tadi. Gadis kecil itu sedang tersenyum meringis pada Ella. Sok manis, batin Ella. Teringat ancaman Aliandra padanya kemarin,


Ella pun tidak berniat menanggapi bocah itu.


Ella memilih menyingkir dari ruang makan. Lalu berjalan menuju kolam renang rumah mewah itu. Tanpa menghiraukan Nana yang mengikutinya dari belakang. Bocah itu mengikuti langkah lebar Ella dengan terburu-buru sambil memanggil-manggil namanya.


"Aunty Ella! Aunty tunggu Nana! Aunty Ella!" panggil Nana.


Tapi Ella tidak menghiraukannya. Tidak berniat berdekatan dengan anak itu. Monster kecil pembuat masalah untuknya. Terakhir kali Ella dekat dengannya, nasibnya tragis. Ella berakhir dengan kepala bocor dan tangan yang mendapat jahitan.


Ella memilih duduk di ayunan yang ada di dekat kolam renang. Nana pun ikut naik ke ayunan. Duduk di samping Ella. Gadis itu langsung berdecak kesal. Menggeser duduknya agar lebih jauh dari


Nana. Tapi Nana malah ikut menggeser duduknya berdempetan dengan Ella. Ella menggeser lagi menjauhi Nana. Tapi Nana kembali ikut bergeser tempat duduk.


Lama-lama Ella pun lelah. Gadis itu menghela nafas panjang. Nana menahan tawanya. "Ngapain sih kamu ikutin saya terus? Kamu nggak ada kerjaan apa?" ketusnya pada Nana.


Nana menggeleng. Tersenyum pada Ella. "Nana emang nggak ada kerjaan Aunty. Kan Nana libur sekolah," jawabnya polos.


Ella membulatkan matanya. Berani sekali anak ini menjawab kata-katanya. Ella berdecak kesal pada Nana yang menatap polos padanya. Bocah ini begitu lugu, lucu dan polos. Sungguh menggemaskan, batin Ella.


Sayangnya dia adalah anak si monster itu. Seandainya dia tidak ada hubungannya dengan Aliandra, pasti Ella sudah menarik tubuh mungil itu ke pelukannya. Nana benar-benar menggemaskan.


Nana terdiam sejenak. Melihat luka di pelipis Ella yang berbalut perban. "Itu kepala Aunty sakit ya?"


"Kalo sampe berdarah ya jelas sakit, lah. Pake nanya lagi," jawab Ella kesal.


Nana menunduk. Terlihat sedih. "Maafin Nana ya Aunty. Gara-gara Nana, Aunty dimarahin Daddy kemarin," lirihnya.


Ella menoleh pada bocah itu. Mendapati Nana sedang menunduk sedih. Hampir-hampir menangis. Sebuah bayangan masa lalu berkelebat di depan matanya.


Melihat sosok Nana, Ella teringat akan dirinya sendiri belasan tahun lalu. Ada persamaan antara mereka. Kecil, lemah, sendirian. Ah, tidak. Hanya Ella yang sendirian.


Nana punya banyak pelindung disini. Bocah itu mendapat banyak kasih sayang dari keluarganya. Daddy monsternya itu terlihat begitu menyayangi Nana. Begitu melindungi Nana.


Belum lagi neneknya yang juga sangat menyayanginya. Lalu Rumi, pengasuhnya. Mbok Inah. Semua menyayangi Nana.


Sedangkan dirinya? Tidak punya siapapun. Sejak kecil dia tidak pernah dianggap ada. Lalu kini saat sudah dewasa dia malah dijadikan tumbal untuk menutup rasa malu akan perbuatan kakaknya yang kabur di hari pernikahannya.


Ella jelas berbeda dari Nana. Gadis itu menghela nafas panjang. Dia berniat turun dari ayunan. Dan kembali ke kamar. Tanpa menghiraukan kehadiran Nana di sampingnya, Ella pun beranjak masuk kembali ke dalam rumah.


Saat kakinya hampir mencapai pintu, Ella langsung menoleh ketika mendengar suara sesuatu jatuh. Lalu disusul tangisan anak kecil.


"Nana!" pekiknya. Lalu gadis itu pun buru-buru berlari kembali keluar. Menghampiri Nana yang menangis karena terjatuh ke


ayunan.


Ella membantu Nana untuk bangun. Membersihkan kedua lututnya yang kotor. Lalu menggendongnya.


"Daddy... sakiitt..." tangis Nana kencang.


Ella mengusap-usap punggungnya lembut. Berusaha menenangkan bocah kecil yang menangis di gendongannya.


"Ssttt... Nana berhenti nangis, ya. Aunty obatin kaki Nana. Nana jangan nangis lagi," ucapnya.


"Sakit Aunty...!"


"Iya-iya kita masuk dulu ya. Biar Aunty obatin Nana di dalam."


Ella masuk ke dalam rumah dengan Nana yang menangis terisak di gendongannya. Rumi yang baru selesai membereskan kamar Nana langsung turun begitu mendengar suara tangisan bocah itu.


"MasyaAllah, non Nana!" pekiknya histeris.


Perempuan itu buru-buru turun dari tangga dan menghampiri Ella dan Nana yang sedang duduk di sofa.


"Non Nana kenapa, non Ella?" tanya Rumi pada Ella yang sedang membongkar kotak p3k di atas sofa.


"Tadi Nana jatuh dari ayunan, mbak. Ini lagi saya obatin," jawab Ella.


"Aduuhh... non Nana kenapa bisa jatuh sih, non. Alamat deh mbak Rumi nanti pasti dimarahin Tuan," keluh Rumi.


"Sakittt... Aunty. Periihh..." Nana menangis tersedu saat Ella membersihkan lukanya. 


"Iya ini bentar lagi, ya. Lukanya harus dibersihin dulu. Terus ditutup plester biar cepat sembuh, Nana."


Ella dengan telaten mengobati luka lecet di lutut bocah itu. "Nah, selesai kan?" ucapnya saat lutut Nana sudah berbalut plester.


Nana menghentikan tangisnya. Menatap luka di lututnya yang sudah berbalut plester.


"Udah nggak sakit, kan?" tanya Ella.


"Sedikit Aunty," ucap Nana lirih.


Ella meniup-niup luka di lutut Nana dengan lembut. Berharap anak itu tidak lagi merasa kesakitan. Nana menatap Ella yang sedang meniup lututnya yang terluka. Gadis kecil itu tersenyum senang.


"Makasih Aunty," ucap Nana.


Ella mendongak. Menatap Nana yang sedang tersenyum begitu manisnya. Ella pun tidak tahan untuk membalas senyumnya. Gadis itu mengangguk pelan menanggapi ucapan Nana. Lalu beranjak berdiri. Meminta Rumi untuk mengantar Nana ke kamarnya. Sedangkan gadis itu sendiri pun juga masuk ke kamarnya.


***


"Daddy!" pekik Nana senang saat melihat Aliandra memasuki kamarnya. Gadis kecil itu langsung kembali duduk.


Beberapa saat lalu, Nana baru saja akan ditidurkan oleh Rumi. Nana terlebih dahulu minta untuk dibacakan buku cerita oleh pengasuhnya itu. Tapi baru separuh jalan, Aliandra datang dengan wajah lelahnya menghampiri Nana.


"Nana belum tidur?" tanya Aliandra lembut.


"Ini lagi baca buku cerita Daddy," jawab Nana riang. Menunjukkan buku yang sedang dipegang oleh Rumi. Nana tersenyum senang akan kehadiran Daddynya.


Aliandra tersenyum. Mengacak-ngacak rambut bergelombang Nana yang terasa lembut. "Sini bukunya, rum. Biar saya yang bacain buat Nana. Kamu istirahat aja!" ucap Aliandra pada Rumi.


Wanita itu mengangguk lalu memberikan buku cerita di tangannya pada Aliandra. Dia pun pamit untuk kembali ke kamarnya.


Aliandra duduk di samping Nana. Memeluk tubuh mungil putrinya itu. Nana pun segera bergelung manja dalam dekapan hangat Aliandra. Aliandra membuka buku cerita di tangannya dan mulai membacakan untuk Nana. Sesekali Aliandra mencium pipi Nana dengan gemas karena pertanyaan-pertanyaan lucu Nana tentang cerita yang dibacakannya.


"Aduhh... geli Daddy! Ampun, Daddy. Nana geli!" pekik Nana saat Aliandra menggelitiki pinggangnya.


Aliandra tertawa terkekeh melihat wajah menggemaskan Nana saat sedang tertawa kegelian. Tanpa sengaja tangan Aliandra menyenggol lutut Nana yang tadi siang terluka. Nana meringis kesakitan. Aliandra tersentak kaget. Lalu menyingkap selimut yang membungkus tubuh Nana. Memeriksa kaki putrinya.


Mata Aliandra membelalak saat melihat lutut Nana yang terbalut plester. "Lutut Nana kenapa ini?" tanyanya cemas.


"Tadi Nana jatuh dari ayunan Dad," jawab bocah itu.


Aliandra menghela nafas pelan. Memangku kaki Nana di pahanya. Memeriksa dengan teliti lutut putrinya. Memastikan tidak ada luka serius disana.


"Emang Mbak Rum kemana? Nggak temenin Nana main?" tanya Aliandra.


Nana menggeleng. "Tadi Mbak Rum bersihin kamar Nana, Dad. Terus Nana ketemu Aunty Ella," jawab Nana.


Aliandra terdiam. MenDadak perasaan Aliandra menjadi tidak enak mendengar nama Ella. Cap jelek sudah melekat di benak Aliandra tentang gadis itu.


"Aunty Ella?"


Nana mengangguk. "Iya, Dad. Tadi Nana main ayunan sama Aunty Ella. Terus Nana jatuh. Aunty Ella-"


Belum sempat Nana bercerita lebih jauh, Aliandra sudah berdiri dari duduknya. Tangannya mengepal marah. Aliandra pun berjalan dengan cepat keluar dari kamar Nana.


***


Ella duduk termenung di kursi yang ada pada sudut ruangan. Membayangkan nasibnya ke depan. Saat ini dia tidak mungkin lagi kembali ke Sydney dan meneruskan kuliahnya. Pupus sudah harapannya untuk bisa lulus kuliah tahun ini dan meraih gelar cumlaude dan lulusan termuda. Setengah mati dia belajar. Membagi waktu dengan waktu bekerjanya agar bisa lulus lebih cepat.


Semuanya kacau. Semua ini karena rosa. Kalau saja rosa tidak kabur ke New York. Pasti dia masih di Sydney. Menikmati hidupnya yang susah namun tenang. Tidak seperti ini. Tinggal di rumah monster mengerikan yang tidak punya hati dan super tega. Ella mendesah panjang. Badannya lelah. Hatinya juga. Apalagi pikirannya.


Ella pun bangkit dari duduknya. Berjalan menuju kasur tempat tidurnya yang kecil. Dia tidak mengeluhkan sempitnya kamar yang dia tempati. Asalkan dia bisa tidur nyenyak tiap harinya. Baru saja Ella hendak menarik selimut untuk menghangatkan


tubuhnya, suara pintu dibuka dengan kencang membuatnya kaget.


Sosok tinggi dan tegap berjalan dengan cepat ke arahnya. Ella berdecak. Harusnya tadi dia mengunci pintu agar orang itu tidak bisa masuk seenaknya ke kamarnya.


"Apa?" ucap Ella ketus.


"Harusnya saya yang tanya sama kamu! Apa yang kamu lakukan pada putri saya?" balas Aliandra dingin.


Ella bergidik ngeri melihat wajah penuh amarah dan menyeramkan yang ditunjukkan oleh pria itu.


"Hah? Apa?" Ella memandang bingung Aliandra yang menatapnya marah.


Aliandra berjalan ke arahnya. Lalu tanpa aba-aba Aliandra menarik tubuh mungil gadis itu dengan kasar. Menyejajarkannya dengan tubuhnya. Begitu mudah sepertinya bagi Aliandra untuk mengendalikan tubuh ramping Ella. Kedua lengan kokohnya menahan tubuh Ella di hadapannya.


Aliandra menatap tajam pada Ella. Ella hanya diam tidak mampu melawan karena takut melihat tatapan penuh amarah Aliandra. "Sudah dua kali saya peringatkan kamu. Jangan pernah sentuhNana! Jauhi dia! Bagian mana yang kamu kurang mengerti? Hah?" bentak Aliandra dengan berapi-api.


Ella mencengkeram kemeja Aliandra katakutan. Dia tidak pernahdibentak seperti itu. Untuk pertama kalinya Ella merasa sangat takut pada orang lain.


"Jawab!" seru Aliandra kencang.


Tubuh Ella bergetar saat menemukan pandangan yang benar-benar menusuk dari Aliandra.


"Na-Nana jatuh. S-saya-"


"Pantas saja ya kamu dikucilkan dari keluarga kamu. Sikap kamu keterlaluan. Sama anak kecil aja kamu bisa setega itu! Kamu memang nggak pantas mendapatkan perhatian."


Ucapan Aliandra sontak memukul telak Ella. Gadis itu tertegun. Menatap Aliandra lekat. Dengan mata yang berkaca-kaca. Kali ini Aliandra bukan menyakiti tubuhnya, tapi batinnya. Dan itu sangatlah menyakitkan. Perkataannya menampar Ella dengan keras. Memukul tepat di hatinya. Dikucilkan keluarganya sendiri? Tidak pantas mendapat perhatian? Satu tetes cairan bening lolos dari matanya. Wajah pucat pasi dan tatapan kosong Ella membuat Aliandra mengendurkan cengkeramannya.


Aliandra tersentak saat melihat bayangan Nana di hadapannya. Melihat


Ella yang meneteskan air matanya, Aliandra seperti melihat Nana


sedang menangis.


Aliandra melepaskan tangannya dari tubuh Ella. Membuat tubuh gadis itu jatuh melorot ke lantai. Aliandra mundur beberapa langkah. Dia terdiam tatapannya tak lepas dari Ella yang terus meneteskan air mata tanpa adanya isakan yang keluar dari bibirnya.


Ella menangis dalam diam. Sekali lagi Aliandra melihat bayangan Nana dalam sosok Ella yang sedang menangis bersimpuh di lantai.


Aliandra pun berbalik. Keluar dari kamar Ella. Tanpa menoleh lagi.


Bab 4 : Sweet Daughter


Nana turun dari mobil dengan ceria. Dengan selembar kertas di tangannya, Nana berlari masuk ke dalam rumah. Mengacuhkan teriakan Rumi, pengasuhnya agar tidak berlari. Nana masuk ke dalam rumah buru-buru dan mencari Ella. Nana berlari menuju kamar Ella. Mengetuk-ngetuk pintu kamar Ella.


"Aunty... Aunty Ella! Aunty...!" panggil Nana dari luar pintu. Tapi tidak ada jawaban dari dalam kamar Ella.


Nana kembali mengetuk-ngetuk pintunnya. Lagi-lagi tidak ada sahutan sedikitpun dari dalam. Nana yang tidak sabar pun meraih gagang pintu. Memutarnya lalu mendorong daun pintu agar terbuka. Perlahan Nana masuk ke kamar Ella.


"Aunty... Aunty Ella! Aunty... Aunty dimana?" ucapnya.


Nana mendesah kecewa saat tidak menemukan Ella di dalam kamar. Kamar itu kosong. Nana pun kembali keluar dari kamar Ella. Dengan berlari tentu saja. Berniat mencari Ella di tempat lain. Dia sering melihat Ella duduk di ayunan. Mungkin saja Auntynya itu sedang ada disana. Masih dengan wajah cerianya Nana berlari mencari Ella ke belakang rumah. Namun karena terburu-buru, Nana tidak sadar jika di depannya ada orang.


Tubuh mungil Nana menabrak Rumi. Hampir saja bocah itu jatuh terjengkang jika saja Rumi tidak sigap menangkapnya.


"Aduhh... Non Nana! Dibilangin jangan lari. Nanti kalo jatuh lagi gimana?" ujar Rumi.


Nana berdecak. Berontak dari pegangan Rumi. "Ih... Mbak Rumi awas! Nana mau ke kolam renang!" protesnya karena Rumi tidak melepaskan tubuh Nana dari pegangannya.


"Non Nana kalo mau berenang, ganti baju dulu. Itu seragamnya biar Mbak cuci ya!"


Nana menggeleng cepat dengan wajah kesalnya. Gadis kecil itu memberengut saat tubuhnya ditarik Rumi menuju ke kamarnya.


"Nana bukan mau berenang, Mbak."


"Lah terus Non Nana mau ngapain coba ke kolam renang?"


"Nana mau cari Aunty Ella."


Rumi menghela nafas panjang. Menggeleng pelan. "Non Nana cari Non Ella?"


Nana mengangguk. "Iya. Nana mau tunjukin nilai ulangan harian Nana, Mbak."


"Bilang dong Non dari tadi! Ternyata Non Nana lari-lari karena pengen nunjukin nilai ulangannya sama Non Ella?" tanya Rumi.


Nana mengangguk. "Non Ella lagi keluar, Non."


Nana mencembikkan bibirnya. "Aunty Ella kemana?"


"Non Ella lagi ke supermarket. Ikut Mbok Inah belanja."


Nana mendesah kecewa. "Yah... Mbak Rumi bilang dari tadi dong. Kan Nana nggak perlu capek-capek lari-larian nyari Aunty Ella!" omel bocah itu.


Rumi melongo mendengar ocehan majikan kecilnya itu. Pintar sekali bocah itu membAlikkan kata-katanya. Benar-benar persis seperti Daddynya. Menyebalkan.


"Ya udah deh. Nana tunggu Aunty Ella di kamar aja. Nana males disini sama Mbak Rum. Huh.."


Rumi menggeram pelan. Gemas pada mulut ceplas-ceplos bocah itu. Membiarkan Nana naik tangga satu persatu dan masuk ke kamarnya di lantai atas.


***


Nana mengucek matanya dengan tangannya yang mungil saat dibangunkan Rumi untuk makan siang. Nana menggeliat malas di ranjangnya. Tadi setelah pulang sekolah dia main di kamar sampai


ketiduran.


"Ayo Non Nana makan dulu. Non Nana kan belum makan tadi pas pulang sekolah!" ujar Rumi.


Nana bergelung malas di balik selimut. "Nana ngantuk Mbak. Nana nggak usah makan, ya? Nanti malam aja makannya."


"Aduh.. jangan Non. Nanti Mbak Rum dimarahin sama Daddynya Non Nana kalo tau Non Nana ngga makan siang."


Nana berdecak kesal. "Tapi kan Nana ngantuk, Mbak. Nana pengen tidur lagi," rengeknya.


"Non Nana makan dulu. Nanti boleh tidur lagi. Ayo Mon!" bujuk


Rumi.


Nana kembali merengek. "Nggak mau, Mbak. Nana mau tidur!" Rumi mendesah pelan. Bagaimana cara agar Nana mau turun dan makan siang.


"Oh iya. Non Nana tadi katanya nyari Aunty Ella, ya. Aunty Ella udah pulang tuh. Sekarang lagi makan siang."


Mata Nana yang tadi redup langsung membulat seketika. Nana buru-buru bangun dari tidurnya. "Aunty Ella udah pulang dari belanja? Kapan?"


"Udah. Tadi pas Non Nana tidur," jawab Rumi.


Nana melotot pada Rumi. "Kok Mbak nggak bangunin Nana dari tadi, sih. Huh..." Dengan buru-buru Nana menyibak selimutnya. Turun dari ranjang. Menuju ke meja belajarnya. Nana mengambil kertas miliknya yang tadi ingin dia tunjukkan


pada Ella.


Secepat mungkin Nana turun dari tangga untuk menuju ke ruang makan. Menemui Aunty Ellanya. Sedang Rumi berteriak-teriak mengingatkan Nana agar berhati-hati saat turun dari tangga. Nana tersenyum sumringah saat melihat Ella sedang duduk di kursi makan sambil mengupas buah apel.


"Auntyyy!!" pekik Nana ceria lalu berlari menghampiri Ella.


Ella tersentak kaget. Hampir saja apel di tangannya jatuh ke lantai. Gadis itu memasang wajah cuek saat Nana mendekatinya.


"Aunty. Liat deh. Tadi Nana ulangan dapat nilai seratus!" Nana menyodorkan kertas yang dia pegang pada Ella.


Ella diam tidak menjawab. Masih sibuk mengupas apel tanpa repot menoleh pada Nana. Ella tidak menggubrisnya sedikitpun. Dia memotong-motong apel yang tadi dia kupas untuk dijus. Sementara Nana terus mengoceh menjelaskan tentang ulangannya di sekolah.


"Nilai Nana paling bagus kata Bu Guru. Nana pinter kan, Aunty?"


Ella tidak menjawab sedikitpun. Lalu gadis itu berdiri dan masuk ke dapur. Meninggalkan Nana sendirian. Nana mendesah kecewa. Auntynya tidak menghiraukannya sedikitpun. Padahal dia sangat berharap Ella menyambutnya.


PAling tidak dia tersenyum seperti kemarin. Lalu menggendong Nana.


Nana terdiam di depan meja makan. Meremas kertas putih di tangannya. Aunty Ella kembali lagi seperti sebelumnya. Tadinya Nana pikir Aunty Ellanya sudah tidak marah lagi padanya. Dan mau berteman dengan Nana.


"Aunty Ella..." ucap Nana lirih.


Nana membuang kertas ulangannya begitu saja ke lantai. Lalu kembali masuk ke kamarnya dengan mata berkaca-kaca.


Ella kembali ke meja makan dengan segelas jus apel ditangannya. Sampai di meja makan, dia mengernyit saat tidak mendapati Nana ada disana. Bukannya tadi Nana turun karena ingin makan siang? Lalu kemana lagi anak itu sekarang.


Ella sudah akan duduk di kursi dan menikmati makan siangnya. Tapi tanpa sengaja melihat kertas putih yang tergeletak di lantai. Ella mengambilnya. Merapikan kertas yang terdapat bekas remasan tangan. Raina Clara Adrian. Itu kertas ulangan milik Nana yang dia tunjukkan tadi.


Ella membaca satu-persatu soal ulangan yang dijawab Nana dengan benar. Ternyata anak itu pintar juga. Meskipun tulisannya acak-acakan tapi Nana mampu menjawab semua soal dengan benar. Tak lupa dia membubuhkan gambar senyum di sebelah namanya.


Anak itu benar-benar menggemaskan, batin Ella. Sayangnya dia adalah putri Aliandra. Pria kejam yang suka sekali menyakitinya.Jika teringat pria itu ingin rasanya Ella menaburkan bubuk sianida ke dalam kopinya. Pria arogan yang berstatus sebagai suaminya. Apa seperti itu sikap seorang suami pada istrinya?


Kurang ajar, batin Ella. Dia benar-benar muak. Belum juga sebulan dia tinggal di rumah ini bersama monster itu. Tapi rasanya sungguh tidak betah. Andaikan El tau dia ada disini. Pasti Ella akan langsung meminta pria itu menjemputnya. Membawa kabur dia kembali ke Sydney.


Ella mendesah. Pasti sampai detik ini El tidak tau jika dia tidak ada di apartemennya. El pasti sedang bersenang-senang dengan para gadis yang menjadi fansnya di kampus. Dasar playboy sialan, umpat Ella dalam batinnya. "Permisi, Non."


Ella terkejut saat melihat Rumi ada di depannya. Mengagetkan saja Rumi ini, ucapnya dalam hati. Tanpa lebih dulu mendengar jawaban Ella, Rumi mengambil piring yang tersedia di meja. Lalu mengisinya dengan lauk dan sayur. Tidak lupa menuang segelas susu ke dalam gelas dan meletakkannya di nampan.


"Buat siapa, Mbak?" tanya Ella begitu Rumi mengangkat nampan itu di tangannya.


"Buat Nana, Non. Dia nggak mau makan. Nangis terus dia. Nggak tau kenapa. Rewel banget!" ujar Rumi sedih.


Ella terdiam. Kenapa lagi anak itu menangis? Apa mungkin karena Ella tadi? "Permisi Non, saya mau ke atas dulu. Bujuk Non Nana makan," pamit Rumi.


"Iya Mbak," jawab Ella sembari menganggukkan kepalanya.


***


Setelah makan siang, Ella pun membereskan meja makan. Membawa piring dan gelas yang kotor ke dapur. Lalu mencuci piring. Meskipun dia berstatus nyonya rumah, tapi dia juga ikut beres-beres rumah. Dia terbiasa hidup mandiri selama dua tahun di luar negeri. Tidak enak rasanya jika sekarang menganggur dan hanya ongkang-ongkang kaki.


Hidup seperti patung di rumah. Karena Aliandra tidak pernah berbicara padanya sedikitpun kecuali memarahi dan mengancamnya.


Benar-benar terlalu. Aliandra berangkat kerja sebelum Ella bangun. Lalu pulang saat dia sudah di kamar. Jadi selama hampir sebulan bisa dihitung berapa kali mereka bertemu.


Ella tau dia bukanlah wanita yang diinginkan oleh Aliandra menjadi istrinya. Jadi wajarlah jika dia tidak menganggap Ella ada. Dan Ella tidak ingin terlalu memikirkannya. Toh dia sudah terbiasa tidak dianggap. Ella mengernyit melihat Rumi yang masuk ke dapur dengan bersungut-sungut dan wajah frustasi. Sambil membawa nampan yang masih utuh isinya.


"Mbak, kenapa?" ujar Ella menunjuk pada nampan yang tergeletak di meja dapur.


Rumi mendesah pelan.


"Non Nana nggak mau makan, non. Dia nangis terus. Nggak tau minta apaan. Ditanya nggak mau ngomong!" keluhnya putus asa.


Ella terdiam. Kasihan juga anak itu kalau sampai tidak makan. Walau bagaimanapun Ella punya hati. Dia tidak tega sebenarnya pada anak kecil itu. Tapi dia selalu sebal jika mengingat Nana lah penyebab Aliandra menyakitinya. Ella menghela nafas panjang. Lalu diangkatnya nampan berisi makan siang Nana. "Biar saya coba bujuk Nana deh. Siapa tau dia mau makan."


Rumi mengangguk senang dan mendukung Ella yang akan membujuk Nana. Ella meraih gagang pintu kamar Nana. Mendorongnya sedikit. Terlihat sosok mungil itu sedang berbaring di atas ranjang sambil memeluk boneka teddy bear seukuran tubuhnya.


Wajahnya tenggelam di bawah bantal. Tapi dari bahunya yang bergetar, Ella tau anak itu sedang menangis.


Pelan-pelan Ella masuk ke kamar Nana. Meletakkan nampan makan siang Nana ke atas nakas samping tempat tidurnya.


"Nana!" panggil Ella.


Bocah kecil itu masih terus menangis tak menoleh sedikitpun. Ella kembali memanggilnya. Kali ini Ella mengusap punggung mungilnya dengan lembut.


"Nana. Makan dulu yuk. Nana kan belum makan siang!" bujuknya.


Isakan Nana pun berhenti. Gadis kecil itu menoleh. Mengangkat wajahnya dari balik boneka. Lalu  menatap Ella tak percaya.


"Aunty?" ucap Nana serak. Bahunya masih bergetar naik turun.


Ella tersenyum. Mengusap lembut rambut Nana. "Nana makan dulu yuk. Aunty suapin ya? Mau?" ujarnya.


Nana terdiam memandangnya lama. Lalu mengangguk. "Gendong?"


"Nana mau digendong Aunty?"


Nana mengangguk. Ella pun tersenyum.


"Aunty gendong. Tapi Nana janji harus habisin makan siangnya ya!"


Nana mengangguk sambil tersenyum senang.


"Ya udah sekarang Nana berhenti nangis. Ayo Aunty gendong. Kita makannya di bawah aja ya?"


Nana mengusap air matanya. Lalu berhambur memeluk Ella. Ella tersenyum. Tidak sulit baginya untuk berinteraksi dengan anak-anak. Karena sewaktu di Sydney, dia juga bekerja di sebuah


tempat penitipan anak. Pekerjaan lain selain bekerja di restoran milik sahabatnya, El.


Ella pun menggendong Nana turun. Mengajaknya ke halaman belakang rumahnya. Duduk di atas ayunan. Ella menyuapi Nana makan sambil mendengarkan bocah itu bercerita tentang teman-teman di sekolahnya.


"Aunty.." panggil Nana.


"Hm?"


"Menurut Aunty, Mommy Rosa kapan ya pulangnya?" tanya Nana polos


Ella tersentak. Menatap Nana lekat. Gadis kecil itu menatapnya penuh harap. Sepertinya dia sangat akrab dengan Rosa, kakaknya.


"Nana sayang sama Mommy Rosa ya?" tanya Ella.


Nana mengangguk. "Nana sayang Mommy Rosa, Aunty. Mommy Rosa baik sama Nana. Sering temenin Nana main. Sering gendong Nana," ucap Nana sembari tersenyum.


Ella langsung mengelus lembut rambut anak itu. Sesaat kemudian Nana menunduk sedih.


"Daddy bilang Mommy Rosa nggak akan balik. Terus Daddy bilang Nana nggak boleh lagi nanyain Mommy Rosa," ucap Nana lirih.


Matanya berkaca-kaca. Ella pun tidak tega melihatnya. Gadis itu membawa Nana ke dalam pelukannya. Mengusap punggung Nana dengan lembut.


"Nana jangan sedih lagi, ya. Mulai sekarang, Aunty Ella yang akan temenin Nana main. Aunty juga akan gendong Nana. Mau kan?"


Nana pun langsung tersenyum sumringah. "Mau Aunty! Nana mauu!"


Ella terkekeh lalu mencubit pipi Nana yang membuatnya gemas. "Tapi Nana harus janji dulu sama Aunty," ujar Ella.


"Nana nggak boleh nangis lagi. Terus Nana harus makan yang banyak!" ucap Ella.


Nana menangguk cepat. Kemudian memeluk Ella dengan erat.


***


Pukul tujuh malam Aliandra sudah pulang ke rumah. Kebetulan saat itu Ella dan Nana sedang makan malam. Nana duduk di samping Ella. Ella mengambilkan Nana nasi dan lauk. Juga menuangkan air putih di gelas Nana. Nana makan dengan lahap. Memakan semua yang di taruh Ella di piringnya.


Aliandra berjalan ke arah meja makan. Menghampiri Nana yang sedang makan dengan lahap.


"Wah... anak Daddy pinter ya makannya banyak," puji Aliandra.


Nana mendongak dan langsung tersenyum senang. "Daddy! Daddy udah pulang?"


Aliandra mengangguk. Lalu mengecup kepala Nana lembut. Dan mengambil tempat duduk di sebelah Nana.


Aliandra menciumi pipi Nana dengan gemas. Nana memberengut menjauhkan wajahnya dari Aliandra. Kesal karena Aliandra mengganggunya makan. "Daddy! Sana! Daddy bau! Daddy belum mandi!" keluh Nana kesal.


Aliandra terdiam. Lalu membaui dirinya sendiri. "Masa sih Daddy bau?" ucapnya tak percaya.


Sementara Nana terkikik geli. Begitu juga dengan Ella yang menahan tawanya melihat wajah konyol Aliandra. Merasa dikerjai oleh putrinya, Aliandra langsung menjadi gemas. Aliandra menciumi pipi Nana membabi buta. Membuat gadis kecil itu tertawa kegelian. Ella ikut tertawa melihat Nana dan Aliandra.


Aliandra mendongak. Menatap Ella tajam dan sinis. Sehingga gadis itu pun langsung terdiam tanpa kata.


"Kenapa kamu ketawa?" sentak Aliandra.


Ella menelan ludahnya. Takut pada tatapan mengintimidasi pria itu. Ella pun menghabiskan makannya. Lalu membereskan piringnya. Dan masuk ke dapur. Dia tidak ingin menjadi sasaran kemarahan Daddy monster Nana lagi. Lebih baik dia mengalah dari pada menantang dan memicu amarah pria itu.

No comments:

Post a Comment

-

=

Recent Posts

CHADOS SANGKEK ALAMAT KAMPUNG SKENDI SORSEL

Comments system

Subscribe Us

×
Chados Sangkek update
               
         
   
       
 
"CHADOS": { "SANGKEK": "DESAINER", "WEB": { "INI": "JIKA", "ADA YANG BERMINAT": "", "UNTUK PEMBUATAN WEB": ["BISA HUBUNGIN CHADOS SANGKEK "] } }