Aku pernah menyebut namamu dalam doa, seperti hujan menyentuh tanah yang retak. Kau hadir di setiap celah malam, mengisi sunyi dengan bayang yang tak pernah padam.
Lalu waktu datang, mengambil semua kata yang pernah kita titipkan. Ia membiarkan kenangan menjadi bara kecil yang menyala hanya untuk menghanguskan ingatan.
Aku mencoba memungut sisa-sisa harap, tapi ia jatuh dari genggaman, menjadi serpihan yang sulit kusebut rumah. Kau ada, tapi selalu di belakang tirai yang tak mampu kubuka.
Apakah rindu adalah janji yang hilang arah? Atau hanya jejak yang sengaja kau tinggalkan di punggung waktu, agar aku terus tersesat mencarimu?
Di sini, aku menatap malam yang tak kunjung terang, menghitung bintang yang tak pernah sampai. Dan namamu, tetap berdetak di sela doa, meski aku tahu, kau sudah pergi jauh, tanpa menoleh pada yang kau tinggalkan.
Lalu waktu datang, mengambil semua kata yang pernah kita titipkan. Ia membiarkan kenangan menjadi bara kecil yang menyala hanya untuk menghanguskan ingatan.
Aku mencoba memungut sisa-sisa harap, tapi ia jatuh dari genggaman, menjadi serpihan yang sulit kusebut rumah. Kau ada, tapi selalu di belakang tirai yang tak mampu kubuka.
Apakah rindu adalah janji yang hilang arah? Atau hanya jejak yang sengaja kau tinggalkan di punggung waktu, agar aku terus tersesat mencarimu?
Di sini, aku menatap malam yang tak kunjung terang, menghitung bintang yang tak pernah sampai. Dan namamu, tetap berdetak di sela doa, meski aku tahu, kau sudah pergi jauh, tanpa menoleh pada yang kau tinggalkan.
No comments:
Post a Comment