Di sebuah lembah hijau Pegunungan Tengah Papua, pagi masih muda ketika para lelaki mulai berkumpul. Mereka membawa babi, umbi-umbian, dan dedaunan yang segar. Perempuan dan anak-anak datang kemudian, wajah mereka penuh antusias, menanti upacara yang lebih dari sekadar memasak—ini adalah lambang persaudaraan, kesejahteraan, dan warisan leluhur: Bakar Batu.
Api yang Mengikat Persaudaraan
Bakar Batu bukan sekadar pesta, tetapi peristiwa sakral. Batu-batu besar dipanaskan dalam api unggun hingga membara, sementara masyarakat berkumpul, menari, dan menyanyikan lagu-lagu adat. Asap naik ke langit, membawa doa-doa bagi kesejahteraan suku.
Sebelum makanan diletakkan, pemimpin adat mengucapkan kata-kata penuh makna, mengingatkan bahwa setiap babi yang dikorbankan adalah tanda syukur, dan setiap ubi yang dipanggang adalah simbol kebersamaan. Mereka yang bertikai harus berdamai sebelum batu menyentuh makanan, sebab tak ada tempat bagi kebencian di sekitar api suci.
Lebih dari Sekadar Makanan
Saat batu panas ditumpuk dengan dedaunan dan daging babi, aroma khas mulai menguar. Anak-anak berlarian, menanti dengan riang. Para tetua duduk melingkar, menceritakan kisah-kisah nenek moyang—tentang perang suku yang berakhir di sekitar Bakar Batu, tentang persahabatan yang ditempa di atas bara, dan tentang bagaimana adat ini menjaga mereka tetap satu dalam perubahan zaman.
Bakar Batu di Era Modern
Kini, meski dunia telah berubah, Bakar Batu tetap ada. Ia bukan sekadar ritual adat, tetapi identitas, kebanggaan, dan bukti bahwa di Papua, makanan bukan hanya untuk perut, tetapi juga untuk jiwa.
Di tengah modernisasi, pusat-pusat kota berkembang, teknologi merangsek masuk, tetapi di lembah-lembah dan desa-desa, asap Bakar Batu tetap membumbung. Ia adalah warisan yang tak tergantikan, jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan.
Sebab selama api masih menyala, selama batu masih membara, Papua akan tetap menjadi tanah dengan budaya yang tak tergantikan—seperti dunia lain yang tetap setia pada dirinya sendiri
No comments:
Post a Comment