Sunday 25 Mey 2025

Notification

×
Sunday, 25 Mey 2025

Kategori Berita

Tags

Kode Iklan Disini

Kode Iklan Disini

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Sa yang Mendukung dia yang Mengandung

Sunday, 4 May 2025 | May 04, 2025 WIB Last Updated 2025-05-04T17:07:38Z
Sa yang Mendukung dia yang Mengandung


"Sa yang Mendukung de yang Mengandung"
(Oleh: Alyan Kafiar)

Di bawah langit biru Pulau Biak, angin laut membelai rambut Paskalina yang berdiri di tepian dermaga. Matahari sore menjingga, memantulkan siluet cahaya keemasan di permukaan laut, seperti menyapu luka yang belum sempat menganga. Di sanalah pertama kali Paskalina bertemu dengan Petrus, laki-laki asal kampung sebelah yang baru saja kembali dari Jayapura. Dia datang dengan senyum, menyapa dengan logat Biak yang kental, dan sejak hari itu, hati Paskalina mulai tumbuh benih yang tak disangka-sangka.

“Ko nama siapa?” tanya Petrus kala itu, duduk di sampingnya sambil melempar bebatuan kerikil-kerikil kecil ke laut.

“Paskalina,” jawabnya lirih, tapi cukup jelas untuk menggugah rasa ingin tahu Petrus. Perkenalan singkat itu pun membawa mereka jadi teman dekat. Makan pinang sama-sama, tertawa di bawah langit kota karang panas. Ketika malam datang menyapa, Petrus sering mengajak Paskalina duduk berdua di Pantai Talud Sorido. Sesekali merasakan terpaan angin laut, dan melihat butiran debur-debur ombak saling berkejaran mengejar tepian.

Kebahagiaan itu tak bisa dibohongi. Terpancar dari mata Paskalina, ia benar-benar telah jatuh hati. Sebelum akhirnya jatuh karena hati. 

Namun, seperti kapal yang harus berlayar, Petrus pamit. Dia bilang ada beasiswa di Australia, dan cita-cita harus dikejar.

“Ade, tunggu sa, e. Biarpun jauh, sa punya hati tetap tinggal di sini, tinggal di ko,” ucap Petrus waktu pamit, memegang tangan Paskalina erat sekali.

LDR mereka panjang, dua belas tahun lamanya. Chattingan-chattingan datang dan pergi, video call kadang-kadang, dan sesekali paket dari Australia—selimut hangat, boneka kanguru kecil, dan cokelat yang meleleh setengah sampai di Biak. Paskalina setia. Setiap malam dia doakan Petrus dalam bahasa Indonesia sampai menggunakan bahasa ibu (Biak), dengan air mata kerinduan dalam sunyinya malam kota Biak.

Akhirnya, penantian panjang pun terjawab. Petrus kembali. Dengan jas putih dan mata berbinar, dia menikahi Paskalina di gereja kecil pinggir pantai. 

Semua orang kampung bersuka. Lagu bersenandung, tarian Yospan dibalut petikan gitar dan stand bass mengiringi cinta yang katanya tak tergoyahkan.

Namun, kebahagiaan itu seperti angin di laut: datang dan pergi begitu cepat.
Sebulan setelah pernikahan, Petrus kembali ke Australia. Katanya kerja, katanya sebentar saja. Tapi waktu bergulir, kabar mulai jarang. Pesan hanya dibaca, telepon tak dijawab. Paskalina mulai merasa seperti menunggu hujan di musim panas yang keras. 

Setiap kali jika kekasihnya bisa menjawab, dan ia ingin tanya, pasti ia hanya menjawab sibuk dengan bekerja.

Waktu terus bergulir seperti jarum dinding. Lalu datanglah malam Jumat Agung itu. Malam sakral bagi seluruh umat nasrani.

Di gereja, saat suasana hening meringkus. Hanya nyanyian kidung rohani bergema sesekali dan jemaat merenungkan pengkhianatan Yudas, yang dipandu oleh seorang pendeta di atas mimbar. Tanpa sadar Paskalina mengeluarkan dan mengutak-atik ponselnya, untuk mengusir kejenuhannya. 
Seketika dadanya bergemuruh melihat video yang menampilkan seorang paras lelaki yang tidak asing baginya, telah menggendong seorang bayi kecil mungil digandeng wanita yang tak dikenalnya. “Tuhan Yesus ini apa yang sa lihat.” Matanya mulai berkaca. Jemarinya menjadi gemetaran. Namun, ia bersabar mengikuti proses sakral itu sampai selesai dengan baik, meskipun ia sedang tidak baik-baik saja.
Dunia Paskalina runtuh. Ia berlari ke luar gereja, setelah ibadah selesai. Hujan turun seolah langit pun ikut menangis. Di dalam kamar ia duduk, meraung, menggigil, dan hancur.
“Kenapa ko buat begini, Petrus?” jeritnya, “Sa tunggu ko dua belas tahun. Sa dukung ko, sa percaya ko… tapi ternyata, ko lebih parah dari Yudas…”

Ia berusaha kembali memastikan firasatnya. Mengutak-atik ponselnya, beranda demi beranda ditelusuri. Akhirnya apa yang disampaikan hatinya tidak salah lagi.

Tangisannya menggetarkan malam, menembus angin dan menggema di antara dinding hati yang remuk. Tapi di dalam luka, ia harus kuat.

Malam itu, di bawah langit Biak yang penuh awan, dan lambaian anila yang merdu dan hening itu, bukan lagi menjadi nyanyian dan alunan yang merdu. Ia terluka, hancur, dan rapuh.

“Sa tunggu ko selama dua belas tahun, supaya ko tahu cinta sejati itu benar-benar ada. Namun, kenapa sa yang dukung ko selama ini, sa yang ko nikahi secara sakral di gereja. Baru de yang ko buat mengandung. 

Sa sedih Petrus, sa kacau s’kali, sa berantakan.” Ratapnya tak habis-habis.
Dan di ujung malam, di antara isak tangis dan doa,  Paskah memandang langit-langit kamarnya sembari mengambil pulpen lalu menulis di catatan hariannya.

“Cinta pernah sa tanam dengan sepenuh hati, sa kira akan tumbuh jadi abadi. Tapi yang sa peluk ternyata bayangan, dan yang sa panggil kekasih justru menyisipkan duri dalam dekapan. Pengkhianatan yang ko kasih bukan hanya merobek kepercayaan, tapi meruntuhkan rumah yang sa bangun dari harapan. 

Meski luka ini tak bersuara, sa punya air mata tahu betapa hancurnya sa. Namun, dari serpihan hati yang patah, Sa belajar: cinta sejati harus dipoles dari luka, dan menjadi duka.”

Hamadi, 21 April 2025

No comments:

Post a Comment

-

================ =

Recent Posts

kunjungi alamat youtube

CHADOS SANGKEK ALAMAT KAMPUNG SKENDI SORSEL

Comments system

Subscribe Us

×
Chados Sangkek update
               
         
   
       
 
"CHADOS": { "SANGKEK": "DESAINER", "WEB": { "INI": "JIKA", "ADA YANG BERMINAT": "", "UNTUK PEMBUATAN WEB": ["BISA HUBUNGIN CHADOS SANGKEK "] } }