Rasa Tak Percaya Aku Mendengarnya
Rasa tak percaya
aku mendengarnya —
kata-kata itu jatuh seperti
batu, dingin, berat,
menghantam dada. Dia bilang
cinta ini sudah tak bisa diselamatkan.
Tanpa
alasan yang cukup, tanpa penjelasan, hanya satu kalimat
yang memutuskan segalanya.
Aku diam. Hanya mataku yang masih berusaha mencari
sisa kehangatan. Tapi di sana
sudah tak ada lagi tempat untukku.
Rasa tak percaya
aku mendengarnya, tapi malam
pun akhirnya tenang,
dan aku belajar
menerima —
bahwa beberapa
kehilangan memang diciptakan untuk menumbuhkan kita.
■ Judul : Sa & Ko – Cinta yang Tersisa Luka Kumpulan Cerita Pendek
tentang Harapan, Luka, dan Cinta yang berakhir pisah
✍■ Kata Pengantar
Di atas tanah yang lautnya selalu bicara, dan senja yang tak pernah menipu, tumbuhlah kisah cinta antara dua jiwa: Sa dan Ko. Ini bukan sekadar cerita tentang jatuh cinta dan patah hati. Ini adalah perjalanan rasa—dari harapan yang menggebu, keraguan yang menghantui, hingga keberanian untuk melepaskan. tujuh bagian kisah ini adalah potret kecil dari cinta yang kita semua pernah tahu: yang sederhana, yang rumit, yang indah, dan yang menyakitkan.
Semoga setiap halaman membawa kamu pada ingatan tentang cinta yang pernah kamu jaga.
■■ DAFTAR ISI:
Bagian 1 – Cinta yang Sa Harap
Bagian 2 – Sa Masih Tunggu, Tapi Ko Tra
kembali
Bagian 3 – Jangan Paksa Sayang e
Bagian 4 – Sa Pu Cinta Cuma Ko
Bagian 5 – Cukup Sampai di Sini
Bagian 6 - Sa bukan Lagi tempat Ko cari Bahagia
7. - Bab Khusus
8. Bab Tambahan: Rumah yang Tidak Pernah Selesai
9. Penutup
10.Tentang Penulis
11. Ucapan Terima Kasih
■ Bagian 1: Cinta yang Sa Harap
_Langit sore hari memerah, seperti
hati yang pelan-pelan mulai terbuka. Di bos warnet,
Sa duduk sambil menatap layar.klik browser dan pergi, tapi pikirannya
tetap tertuju pada satu hal—atau lebih tepatnya, seseorang.
Perempuan yang datang pelan-pelan, tapi tiba-tiba menetap.
Tidak dengan bunga, tidak dengan kata-kata manis. Tapi dengan kehadiran yang
membuat hati Sa terasa utuh.
“Sa rasa ini kah cinta sejati itu?” Sa tidak banyak bicara
karna lagi serius di layer kaca warnet.
Dia juga sesekali baru bicara, tapi saat ia bicara, itu
langsung menembus hati. Ia datang dan beri lebih dari yang Sa minta. Dia dengar
saat semua orang diam. Dia lihat saat yang lain pura-pura tidak peduli.
“Sa percaya, ini cinta yang Tuhan kirim langsung par beta.”
Begitu Sa bilang ke angin yang lewat, seperti mendoakan diam-diam agar doa itu
dikabulkan.
Cinta ini Sa simpan baik-baik. Bukan karena takut hilang,
tapi karena dia berharga. Lebih luas dari samudra, lebih dalam dari lautan. Sa
tidak tahu bagaimana cara mengukur, tapi Sa tahu, rasanya tak bisa diganti.
“Kalau
memang ini jodoh, dia pasti tetap tinggal.” Sa yakinkan diri.
Karena cinta yang datang dari hati yang bersih, tidak
butuh banyak alasan
untuk bertahan. Ia hanya
butuh kepercayaan.
Dan Sa tinggalka
warnet itu,sa masih percaya. Bahwa dia adalah cinta yang sa harap.
■ Bagian 2: Sa Masih Tunggu,
Tapi Ko Tra kembali
Malam-malam terasa sunyi di box warnet lagi serius,sa
jarang balas pesan mansenger. Dulu, setiap malam sebelum tidur, selalu ada pesan singkat
dari dia: "Ko
jaga diri baik-baik ya."
kadang, hanya centang dua tanpa balasan. Tidak marah, tidak juga menjauh,
hanya... menggantung.
besoknya ke warnet lagi , tatap layar,tiba tiba dia datang
di warnet, karna warnet itu kesukaan saya .
“Ko kenapa begitu?”
pernah Sa tanya
lewat pesan. Tapi Ko hanya
jawab, “Sa lagi di warnet................................. cuma
itu yang sa balas.”
Setidaknya? balas itu pesan". Tapi sa pikir bukan soal
balas membalas inbox, tapi bertahan meski tidak bersama.
Di warnet, di
depan jalan, di tempat warnet, dia tetap datang. .
“sa mungkin ragu, masih di asrama.” Itu yang Sa bisikkan
setiap malam ke langit, seolah langit bisa sampaikan ke hati dia yang jauh di
seberang diam.
■ Bagian 3: Jangan Paksa Sayang e
Sa duduk sendiri di tangga asrama. Malam sudah turun, tapi
mata belum juga terpejam. Sejak hari itu—hari ketika dia telpon bicara ,ko
masih marah k, sa membalas lebih lama, kalau ko bilang kitong dua pisah,ya
pisah saja to" lagi pulang sa masih di jogja dan koi su di papua, dan
semuanya sudah berubah.
Rasa yang dulu tumbuh seperti bunga di musim hujan, kini
seperti ranting kering yang nyaris patah ditiup angin.
“Ko masih sayang Sa ka?” Pertanyaan itu keluar,, di tengah
percakapan yang canggung. sa diam, lalu jawab pelan, “Jangan tanya itu
sekarang.”
Sa ingin percaya bahwa ini hanya fase. Bahwa rasa dia hanya
terselip sebentar di balik tumpukan ragu. Tapi semakin hari, Sa sadar: cinta
yang dipaksa, tidak akan jadi indah. Cinta yang berat sebelah, hanya akan
menyakiti.
“Kalau sa su tra rasa yang sama, tra usah paksa tinggal,” Sa ucapkan
dan kitapun berpisah hampir lebih 8 bulan.
Karena apa gunanya
sayang yang dipertahankan, kalau yang satu bertahan, tapi yang lain ingin pergi?
■ Bagian 4: Sa Pu Cinta Cuma Ko
Hujan baru saja reda. di jalan jogjakarta-surabaya ,. Sa berdiri
tujuan surabaya untuk balik
papua. setelah sa sudah di papua
dia datang berdiri
di hadapan Sa, diam, seperti
menunggu sesuatu. Tapi mata sa tajam—bukan marah, lebih seperti luka
yang belum selesai.
“Sa tahu… Sa sudah salah.” Suara dia pelan. “Tapi dia masih di sini.
Karena Sa pu cinta, cuma Ko.” katanya"
sa masih diam.
Sa menarik napas dalam-dalam. “Cinta yang Sa punya ini…
tidak bisa Ko ukur. Tidak bisa. Karena dia lebih luas dari samudra, lebih dalam
dari lautan. Harusnya Ko bisa lihat itu.”
Dulu, saat pertama kali Ko genggam tangan Sa, dunia seperti
membeku. Tapi sekarang, dunia seperti bergerak terlalu cepat dan kitong masih
tertinggal di belakang.
“Sa memang pernah buat salah,”dia lanjut, suara bergetar.
“Tapi dia bersumpah… itu tidak akan terulang. Sa tahan janji ini. Cinta yang Sa punya—masih dan akan tetap, hanya
untuk Ko.”
Mata Ko sedikit berkaca. Tapi tetap belum menjawab.
Sa melangkah lebih dekat. “Biar bumi berhenti berputar, Sa
pu cinta ini tidak akan ikut berhenti. Biar semua orang di dunia tidak setuju,
Sa tidak akan ikut keinginan mereka. Karena yang Sa tahu—hati ini sudah pilih
Ko, dan tidak ada yang bisa ubah itu.”
Hening menggantung. Lalu Ko membuka
mulut. “Kenapa baru sekarang Ko bilang semua ini?”
Sa tidak tahu harus jawab apa. Mungkin karena butuh
kehilangan sedikit, untuk tahu seberapa besar rasa yang tak mau dilepas.
Ko akhirnya
mendekat. Menghela napas.
“Kalau begitu…
buktikan. Bukan cuma kata, tapi hari-hari ke depan.”
Sa tersenyum kecil,
lega.
“Sa akan buktikan.
Karena Sa pu cinta cuma Ko.”
■ Bagian 5: Cukup Sampai di Sini
Hari itu, Sa dan Ko bertemu —di bawah pohon dekat toko.
Tapi suasananya tak sama. Dada Sa berat. Ko pun tampak gelisah, seperti ingin
berkata tapi menahan.
“Sa tau…” Ko mulai. “Kita sudah berjuang terlalu lama untuk
sesuatu yang makin hari makin sakit.”
Sa menunduk.
“Sa pu cinta masih ada, Ko tau itu.”
Ko mengangguk pelan,
tapi wajahnya lesu. “Kadang cinta saja tidak cukup.”
Kata-kata itu seperti pisau, tapi Sa sudah bersiap. Di
hatinya, sudah ada ruang untuk kecewa. Tapi bukan benci. Tidak pernah benci.
“Jadi ini…” Sa menggantung kata-katanya. Ko
melanjutkan, “Ini cukup sampai di sini.”
Tak ada pelukan
perpisahan. Tak ada tangisan. Hanya
angin yang diam-diam menghapus kenangan.
Sa berjalan pergi tanpa menoleh. Tapi dalam hatinya, “Ko
tetap akan Sa ingat… sebagai cinta yang pernah Sa jaga sungguh-sungguh.”
■ Bagian 6: Sa bukan Lagi tempat Ko cari Bahagia
_ Terlalu baik ko pung cara, terlalu manis ko pung kata—hingga sa
sempat lupa, jauh dalam hati ini sudah lama retak.
Sa masih ingat pertama kali torang baku sayang. Senyummu,
caramu bicara pelan, bikin sa rasa dunia aman-aman saja. Seolah semua luka masa
lalu sudah dibayar lunas dengan satu kalimat dari ko: “Ko sayang sa.”
Tapi nyatanya, itu cuma manis di awal. Di dalam hati ini, sa sebenarnya
tau. Ada yang ganjil. Tapi sa paksa bertahan, demi satu hal: kasih sayang bisa
menyembuhkan.
Hari-hari berlalu, dan luka itu malah makin dalam. Bukan
karena orang lain—tapi karena ko. Karena semua janji yang sa kasih, ternyata
kosong. Karena semua pelukan, ternyata cuma pengalihan.
Ko terlalu jauh su melangkah. Dan saat sa coba tarik ko
kembali, ko pura-pura berlagak duri dalam daging. sa masih bisa tarima. Biarpun
itu harus dengan air mata, sa rela akhir cerita ini sesuai ko pung mau.
Tapi Tuhan lebe tau.
Dari sepanjang kisah yang torang jalan sama-sama, yang paling terluka
itu sa. Karena sa terlalu percaya. Karena sa terlalu
banyak maafkan. Karena sa pikir kasih saying yang bisa ubah segalanya.
Sekarang sa sadar.
sa bukan lagi tempat ko cari bahagia.
Dan ko, bukan lagi alasan sa harus pulang.
Biarlah semua
kenangan tinggal di belakang. sa mau pergi jauh-jauh dari semua kisah ini.
■ Penutup
Tamat bukan berarti berakhir.
Cinta yang pernah tumbuh, meski tak sampai,
tetap punya tempat dalam hati yang pernah berharap. Sa dan Ko hanyalah dua
nama— tapi di baliknya ada rindu, luka, dan harapan yang mungkin juga kamu
kenal.
Jika kamu pernah mencintai, menunggu, lalu melepaskan, maka kisah ini
adalah juga sebagian dari ceritamu.
Terima kasih telah ikut berjalan bersama Sa dan dia,
melewati gelombang hati yang tak selalu tenang. Jika suatu saat kamu bertemu
cinta yang baru— ingatlah: jangan paksa
sayang, dan jangan lupa siapa yang pernah kamu perjuangkan.
– Tamat –
■ Tentang Penulis gedi layu adalah
penulis yang lahir
dari tanah, suara,
dan suasana
Indonesia Timur. Cerita-ceritanya tumbuh dari akar budaya, rasa
manusiawi yang dalam, dan narasi yang tak banyak disuarakan. Dalam seri Sa
& Ko, ia mengangkat kisah cinta dengan bahasa yang jujur dan sederhana,
seperti percakapan yang tak pernah selesai di bangku kayu, tepi pantai, atau
beranda rumah.
Gedi Layu percaya bahwa setiap orang punya kisah yang layak
didengar. Dan tulisan adalah cara paling setia untuk mengingat apa yang pernah
membuat kita merasa hidup.
■ Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kepada
setiap hati yang memilih membaca
kisah ini. Kepada mereka yang
pernah mencintai dalam diam, yang bertahan meski ragu, dan yang akhirnya
melepaskan dengan lapang dada.
Kisah ini lahir dari banyak percakapan, kenangan, dan
potongan perasaan yang barangkali juga pernah kamu alami—di tepi dermaga, di
balik pesan tak terbalas, atau dalam hujan yang turun sendirian.
Terima kasih untukmu yang memberi ruang bagi cerita ini
tumbuh. Semoga setiap halaman membawa kamu pulang—entah ke seseorang, atau ke
diri sendiri.
■ Bagian 7 : Bab Khusus Aku yang Temani Kamu Punya Susah, Dia yang
Nikmati Kamu Punya Kesuksesan
Jogjakarta, 2010. Perempuan itu masih muda, baru dua tahun
meninggalkan tanah kelahirannya di Papua. Di kota pelajar itu, ia merantau demi
cita-cita. Tapi tubuhnya melemah. Sakit usus buntu. Sering pingsan. Tak kuat
berjalan jauh.
Keluarganya jauh di Papua. Tidak ada yang mendampingi di kota asing
ini, kecuali satu orang: seorang pria yang diam-diam telah menjadikannya dunia.
Si pria itu menemaninya ke rumah sakit Bethesda, berjaga sepanjang malam,
bahkan ketika dirinya sendiri tak punya banyak. Ia rela menunda
kuliahnya, bahkan berhenti—hanya agar bisa mengurus
si perempuan.
Ketika hari operasi tiba, ia yang menandatangani surat
tindakan. Ia yang menggenggam tangan si perempuan saat tubuhnya lemas pasca
operasi.
Lalu waktu berjalan. Si pria tidak lanjut kuliah. Si perempuan sembuh,
lalu bangkit. Ia berjanji: “Kalau nanti sa sukses, ko tetap beta bawa. Sa mau
kawin ko.”
Janji itu melekat dalam dada pria itu, seperti iman yang
terus dijaga. Tapi kenyataan pelan-pelan berubah. Si perempuan mulai sibuk.
Sibuk dengan dunia barunya, dengan teman-teman barunya, dengan dunianya yang
mulai bercahaya.
Si pria tetap di tempat yang sama, memikul impian yang tak
jadi nyata. Enam tahun tinggal bersama, tanpa ikatan sah, tanpa arah pasti.
Lalu datang hari itu: si perempuan meninggalkan rumah. Diam-diam. Tak ada perpisahan. Hanya pesan pendek: “Sa mau
fokus urus hidup sa.”
Tahun-tahun kemudian... Mereka tinggal di kota yang sama,
tapi seperti dua semesta yang tak lagi bersentuhan. Si pria kerja
serabutan. Kadang jadi tukang cat, kadang kerja
di proyek talut tanah longsor pinggir jalan. Tangan kasarnya mencangkul
tanah basah sementara matahari membakar punggungnya.
Dan suatu sore,
saat ia sedang
menata batu di pinggir jalan,
mobil SUV berhenti
beberapa meter dari tempatnya berdiri. Dari balik kaca, dia melihatnya
lagi. Si perempuan.
Rambutnya rapi, kacamatanya elegan, wajahnya bercahaya oleh
pencapaian yang dulu mereka impikan bersama.
Si pria menunduk. Tidak ingin memandang terlalu lama. Tapi dalam hatinya,
ia tahu: “Beta yang temani ko punya susah, dia
yang nikmati ko punya sukses.”
Tak ada kata. Tak ada sapaan. Hanya kenangan yang
menghantam lebih keras dari debu dan matahari siang itu.
■ Bagian 8 : Rumah yang Tidak Pernah Selesai
Kami mulai dari satu impian
kecil: punya rumah
sendiri. Tidak besar,
tidak mewah—cukup untuk berteduh
dari hujan, cukup untuk tempat letakkan cinta yang kami rawat
bertahun-tahun.
Tahun 2015 kami mulai bangun. Dinding bata merah disusun
pelan-pelan. Kami bawa semen sendiri, angkat pasir sama-sama. Kalau siang
terlalu panas, kami berhenti sebentar duduk di bawah pohon dekat fondasi. Lalu
lanjut lagi.
Kadang kami bercanda, “Nanti dapur di sini, kamar tidur dua, terus sa
tanam bunga di depan.” Dan dia hanya tersenyum, ambil ember air, dan terus
bekerja.
Tapi seperti
cerita yang kehabisan tinta di tengah halaman, rumah itu tak pernah selesai.
Awalnya sibuk, lalu saling lupa. Awalnya cuma istirahat
sebentar, lalu jadi tidak datang lagi. Awalnya hanya retak kecil, lalu jadi
diam yang panjang.
Tahun-tahun berlalu. Kami tetap di kota yang sama. Tapi tidak di hati
yang sama. Rumah itu masih ada—dinding separuh berdiri, cat belum pernah
menyentuh.
Aku kadang lewati tempat itu. Rumput tinggi tumbuh liar di pekarangan
yang dulu kami rancang. Dan aku hanya bisa menunduk, karena aku tahu: rumah itu seperti cinta kami—dibangun bersama, tapi
dibiarkan terbengkalai.
Lima tahun bukan waktu sebentar. Tapi kadang, yang kita
rawat dengan sepenuh hati, tetap bisa menjadi sesuatu yang kita abaikan pada
akhirnya.
Dan sejak itu,
kitong dua terabaikan, bersama dengan rumah yang tak pernah selesai.
Ko Bukan Sa Pung Tempat Bahagia (Bagian Baru dalam Seri
"Sa & Ko – Cinta yang Tersisa Luka")
Terlalu baik ko pung cara. Terlalu manis ko pung kata. Itu
yang bikin sa bertahan—walau jauh di dalam hati, luka sudah lama berakar.
Awalnya, sa kira sa bisa. Sa kira, cinta bisa tumbuh dari
kebiasaan, dari semua perhatian yang ko kasih. Tapi makin lama, sa sadar: Yang
sa pertahankan, bukan rasa, tapi kewajiban untuk tetap terlihat baik-baik saja.
Setiap kali ko bilang “sa cinta ko”, sa cuma bisa senyum
dan tunduk. Bukan karena bahagia, tapi karena sa tahu, sa cuma ikut ko pung
mau. Ko yang mulai, ko yang buat aturan. Sa cuma jalani.
Tiap kali sa ragu dan tanya, “Ko benar sayang sa?” Ko
selalu jawab pakai kata-kata manis. Tapi hati sa... tak pernah benar-benar merasa aman. Selalu ada yang ganjil. Selalu ada ruang kosong yang ko seng
pernah mau isi.
Dan sekarang, waktu semua sudah terlalu jauh, ko mulai berpaling.
Seolah semua yang sa lakukan itu bukan hal besar. Seolah sa ini cuma bagian
kecil dari hidup ko yang bisa dilupakan begitu saja.
Ko pura-pura lupa. Ko bicara seolah-olah semua baik-baik
saja. Dan sa? Sa menangis dalam diam. Sa diamkan semua, karena sa takut jadi
beban. Karena sa masih ingin ko bahagia, meski bukan dengan sa.
Seng apa-apa, sa tarima. Biar air mata yang bicara, biar
luka ini jadi saksi. Sa rela sakit, asal ko dapat apa yang ko mau.
Tapi
satu hal ko harus tahu...
Dari sepanjang kisah, sa yang paling terluka. Karena dari awal, sa
bertahan hanya untuk ikut ko pung kemauan. Bukan karena cinta itu benar-benar
tumbuh dari hati.
Kini sa mau mundur. Jauh-jauh. Biar luka ini sembuh pelan-pelan. Bodohnya sa, mudah percaya.
Terlalu percaya.
Tapi sekarang sa sadar... Ko bukan sa pung tempat bahagia.
Aku Sudah Maafkan Cinta Itu
Aku tak lagi mencari penjelasan, tak lagi menimbang siapa yang salah, siapa yang benar. Ada hal-hal yang memang harus dibiarkan retak agar kita tahu — tidak semua yang pecah perlu disatukan kembali.
Kini aku belajar berjalan
tanpa bayangmu, tanpa suara panggilan
yang dulu terasa hangat.
Aku tak lagi marah, hanya tersenyum
getir setiap kali ingat betapa dalam aku pernah
mencintaimu.
Rasa sakit itu dulu seperti ombak yang tak
berhenti menghantam dada,
tapi kini perlahan
surut, meninggalkan pasir tenang di tepi hati yang mulai kering air mata.
Aku sudah maafkan
cinta itu — bukan karena kau layak dimaafkan, tapi karena aku layak untuk
tenang.
Kini aku berdiri
di tepi waktu,
melihat kembali masa lalu dengan
mata yang berbeda: tidak lagi menangis, tidak lagi
menyesal.
Hanya sebuah senyum kecil, dan bisikan
lembut dalam hati:
“Terima kasih,
cinta… karena pernah datang — dan karena akhirnya pergi.”


No comments:
Post a Comment