![]() |
KISAH NYATA !! JANDA CANTIK KAYA RAYA MEMINTA BANTUAN TUKANG GALON |
Namaku Dinda Ayu Rakmawati. Aku janda.
Aku adalah CEO dari grup perusahaan keluarga yang bergerak di properti, perhotelan, dan kosmetik. Dua tahun lalu, suamiku meninggal karena serangan jantung di Jepang saat sedang ekspansi bisnis. Kami memang sempat bahagia, tapi sebentar saja. Sisanya aku hidup di balik senyuman tipis, pesta-pesta formal, dan meja makan panjang yang terasa sangat sepi.
Kini aku sendiri hidup dengan bergelimang harta. Aku punya sopir, chef pribadi, dua asisten rumah tangga, dan satu manajer keuangan yang lebih tahu isi dompetku daripada aku sendiri. Namun ada satu hal yang tidak pernah bisa kubeli, yaitu ketulusan.
Setiap pria yang mendekat selalu punya pola yang sama. Di awal mereka penuh perhatian, lalu perlahan mulai muncul obrolan tentang bisnis, kerja sama, investasi properti. Aku lelah, tapi di depan publik, aku tetap berusaha tersenyum dan tampil memukau.
Hari itu, seperti biasa aku duduk di balkon lantai dua rumahku yang menghadap kolam renang sambil menyeruput kopi hangat dan memeriksa laporan bulanan. Mataku sempat menoleh ke arah gerbang depan saat suara motor berbunyi. Tukang galon datang. Biasanya yang datang pria tua bernama Pak Iwan, ramah, suka bercanda. Tapi hari ini orangnya berbeda.
Seorang lelaki muda, tubuh kurus tapi tegap, menurunkan galon dari motor. Ia membuka pagar rumah pelan-pelan lalu masuk sambil membawa dua galon besar di pundaknya. Aku memperhatikannya dari jauh. Langkahnya cepat. Ia bahkan tidak melirik ke arah balkon tempat aku duduk, tidak seperti pria lain. Saat ia selesai meletakkan galon di tempat biasa dekat dapur, aku turun ke bawah. Bukan untuk memeriksa galon, tapi karena entah kenapa aku ingin melihat wajahnya lebih dekat.
“Mas, galonnya bocor?” tanyaku.
“Tidak, Bu. Semuanya aman. Saya izin pamit.”
Tanpa basa-basi, ia berjalan kembali ke motornya. Aku terpaku beberapa detik. Jantungku berdebar. Bukan karena jatuh cinta, bukan secepat itu. Tapi perasaanku mengatakan ini bukan pertemuan biasa.
Namanya belum kutahu. Tapi ada satu hal yang langsung kutangkap darinya: dia tidak tertarik padaku. Dan entah mengapa, justru itu membuatku semakin tertarik padanya. Tertarik bukan karena wajahnya yang bersih atau tubuhnya yang kekar oleh kerja keras, tapi karena satu hal langka yang selama ini tak pernah kutemukan di mata lelaki mana pun.
Semua pria yang menatapku selalu ada bayangan tipis di balik sorot mata mereka. Kalkulasi: berapa jumlah perusahaanku? Berapa harga kalung di leherku? Berapa luas rumahku? Koleksi mobilku, sahamku, tanahku, apartemenku. Bahkan tubuhku.
Tapi Rehan tidak punya itu. Ia menatapku lalu menunduk dan pergi. Hari itu aku mengurung diri di ruang kerja, tapi pikiranku bukan pada pekerjaan. Justru wajah tukang galon itu. Kenapa dia tidak memanfaatkan momen? Kenapa tidak menawarkan kerja sama seperti lelaki lainnya? Bahkan satu kalimat pun tak ia sisipkan untuk basa-basi memperpanjang percakapan.
No comments:
Post a Comment