Notification

×

Kategori Berita

Tags

Kode Iklan Disini

Kode Iklan Disini

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Sa dan KO : Cinta yang tersisa luka

Thursday, 9 October 2025 | October 09, 2025 WIB Last Updated 2025-10-09T16:20:31Z
Sa & Ko – Cinta yang Tersisa Luka | Gedi Layu
Sa & Ko – Cinta yang Tersisa Luka

Sa & Ko – Cinta yang Tersisa Luka


Rasa Tak Percaya Aku Mendengarnya

Rasa tak percaya aku mendengarnya —

kata-kata itu jatuh seperti batu, dingin, berat, menghantam dada. Dia bilang cinta ini sudah tak bisa diselamatkan.

Tanpa alasan yang cukup, tanpa penjelasan, hanya satu kalimat yang memutuskan segalanya.

Aku diam. Hanya mataku yang masih berusaha mencari sisa kehangatan. Tapi di sana sudah tak ada lagi tempat untukku.

...

Rasa tak percaya aku mendengarnya, tapi malam pun akhirnya tenang,

dan aku belajar menerima —

bahwa beberapa kehilangan memang diciptakan untuk menumbuhkan kita.


Kata Pengantar

Di atas tanah yang lautnya selalu bicara, dan senja yang tak pernah menipu, tumbuhlah kisah cinta antara dua jiwa: Sa dan Ko. Ini bukan sekadar cerita tentang jatuh cinta dan patah hati. Ini adalah perjalanan rasa—dari harapan yang menggebu, keraguan yang menghantui, hingga keberanian untuk melepaskan. tujuh bagian kisah ini adalah potret kecil dari cinta yang kita semua pernah tahu: yang sederhana, yang rumit, yang indah, dan yang menyakitkan.

Semoga setiap halaman membawa kamu pada ingatan tentang cinta yang pernah kamu jaga.


Daftar Isi

Bagian 1 – Cinta yang Sa Harap

Bagian 2 – Sa Masih Tunggu, Tapi Ko Tra Kembali

Bagian 3 – Jangan Paksa Sayang e

Bagian 4 – Sa Pu Cinta Cuma Ko

Bagian 5 – Cukup Sampai di Sini

Bagian 6 – Sa bukan Lagi tempat Ko cari Bahagia

Bagian 7 – Bab Khusus

Bagian 8 – Bab Tambahan: Rumah yang Tidak Pernah Selesai

Penutup, Tentang Penulis, Ucapan Terima Kasih


Bagian 1: Cinta yang Sa Harap

Langit sore hari memerah, seperti hati yang pelan-pelan mulai terbuka. Di bos warnet, Sa duduk sambil menatap layar.klik browser dan pergi, tapi pikirannya tetap tertuju pada satu hal—atau lebih tepatnya, seseorang.

Perempuan yang datang pelan-pelan, tapi tiba-tiba menetap. Tidak dengan bunga, tidak dengan kata-kata manis. Tapi dengan kehadiran yang membuat hati Sa terasa utuh.

“Sa rasa ini kah cinta sejati itu?” Sa tidak banyak bicara karna lagi serius di layer kaca warnet.

Dia juga sesekali baru bicara, tapi saat ia bicara, itu langsung menembus hati. Ia datang dan beri lebih dari yang Sa minta. Dia dengar saat semua orang diam. Dia lihat saat yang lain pura-pura tidak peduli.

“Sa percaya, ini cinta yang Tuhan kirim langsung par beta.” Begitu Sa bilang ke angin yang lewat, seperti mendoakan diam-diam agar doa itu dikabulkan.

Cinta ini Sa simpan baik-baik. Bukan karena takut hilang, tapi karena dia berharga. Lebih luas dari samudra, lebih dalam dari lautan. Sa tidak tahu bagaimana cara mengukur, tapi Sa tahu, rasanya tak bisa diganti.

“Kalau memang ini jodoh, dia pasti tetap tinggal.” Sa yakinkan diri.

Karena cinta yang datang dari hati yang bersih, tidak butuh banyak alasan untuk bertahan. Ia hanya butuh kepercayaan.

Dan Sa tinggalka warnet itu,sa masih percaya. Bahwa dia adalah cinta yang sa harap.

Bagian 2: Sa Masih Tunggu, Tapi Ko Tra kembali

Malam-malam terasa sunyi di box warnet lagi serius,sa jarang balas pesan mansenger. Dulu, setiap malam sebelum tidur, selalu ada pesan singkat dari dia: "Ko jaga diri baik-baik ya." kadang, hanya centang dua tanpa balasan. Tidak marah, tidak juga menjauh, hanya... menggantung.

besoknya ke warnet lagi , tatap layar,tiba tiba dia datang di warnet, karna warnet itu kesukaan saya.

“Ko kenapa begitu?” pernah Sa tanya lewat pesan. Tapi Ko hanya jawab, “Sa lagi di warnet. cuma itu yang sa balas.”

Setidaknya? balas itu pesan". Tapi sa pikir bukan soal balas membalas inbox, tapi bertahan meski tidak bersama.

Di warnet, di depan jalan, di tempat warnet, dia tetap datang.

“sa mungkin ragu, masih di asrama.” Itu yang Sa bisikkan setiap malam ke langit, seolah langit bisa sampaikan ke hati dia yang jauh di seberang diam.

Bagian 3: Jangan Paksa Sayang e

Sa duduk sendiri di tangga asrama. Malam sudah turun, tapi mata belum juga terpejam. Sejak hari itu—hari ketika dia telpon bicara ,ko masih marah k, sa membalas lebih lama, kalau ko bilang kitong dua pisah,ya pisah saja to" lagi pulang sa masih di jogja dan koi su di papua, dan semuanya sudah berubah.

Rasa yang dulu tumbuh seperti bunga di musim hujan, kini seperti ranting kering yang nyaris patah ditiup angin.

“Ko masih sayang Sa ka?” Pertanyaan itu keluar,, di tengah percakapan yang canggung. sa diam, lalu jawab pelan, “Jangan tanya itu sekarang.”

Sa ingin percaya bahwa ini hanya fase. Bahwa rasa dia hanya terselip sebentar di balik tumpukan ragu. Tapi semakin hari, Sa sadar: cinta yang dipaksa, tidak akan jadi indah. Cinta yang berat sebelah, hanya akan menyakiti.

“Kalau sa su tra rasa yang sama, tra usah paksa tinggal,” Sa ucapkan dan kitapun berpisah hampir lebih 8 bulan.

Karena apa gunanya sayang yang dipertahankan, kalau yang satu bertahan, tapi yang lain ingin pergi?

Bagian 4: Sa Pu Cinta Cuma Ko

Hujan baru saja reda. di jalan jogjakarta-surabaya ,. Sa berdiri tujuan surabaya untuk balik papua. setelah sa sudah di papua

dia datang berdiri di hadapan Sa, diam, seperti menunggu sesuatu. Tapi mata sa tajam—bukan marah, lebih seperti luka yang belum selesai.

“Sa tahu… Sa sudah salah.” Suara dia pelan. “Tapi dia masih di sini. Karena Sa pu cinta, cuma Ko.” katanya"

sa masih diam.

Sa menarik napas dalam-dalam. “Cinta yang Sa punya ini… tidak bisa Ko ukur. Tidak bisa. Karena dia lebih luas dari samudra, lebih dalam dari lautan. Harusnya Ko bisa lihat itu.”

Dulu, saat pertama kali Ko genggam tangan Sa, dunia seperti membeku. Tapi sekarang, dunia seperti bergerak terlalu cepat dan kitong masih tertinggal di belakang.

“Sa memang pernah buat salah,”dia lanjut, suara bergetar. “Tapi dia bersumpah… itu tidak akan terulang. Sa tahan janji ini. Cinta yang Sa punya—masih dan akan tetap, hanya untuk Ko.”

Mata Ko sedikit berkaca. Tapi tetap belum menjawab.

Sa melangkah lebih dekat. “Biar bumi berhenti berputar, Sa pu cinta ini tidak akan ikut berhenti. Biar semua orang di dunia tidak setuju, Sa tidak akan ikut keinginan mereka. Karena yang Sa tahu—hati ini sudah pilih Ko, dan tidak ada yang bisa ubah itu.”

Hening menggantung. Lalu Ko membuka mulut. “Kenapa baru sekarang Ko bilang semua ini?”

Sa tidak tahu harus jawab apa. Mungkin karena butuh kehilangan sedikit, untuk tahu seberapa besar rasa yang tak mau dilepas.

Ko akhirnya mendekat. Menghela napas.

“Kalau begitu… buktikan. Bukan cuma kata, tapi hari-hari ke depan.”

Sa tersenyum kecil, lega.

“Sa akan buktikan. Karena Sa pu cinta cuma Ko.”

Bagian 5: Cukup Sampai di Sini

Hari itu, Sa dan Ko bertemu —di bawah pohon dekat toko. Tapi suasananya tak sama. Dada Sa berat. Ko pun tampak gelisah, seperti ingin berkata tapi menahan.

“Sa tau…” Ko mulai. “Kita sudah berjuang terlalu lama untuk sesuatu yang makin hari makin sakit.”

Sa menunduk.

“Sa pu cinta masih ada, Ko tau itu.”

Ko mengangguk pelan, tapi wajahnya lesu. “Kadang cinta saja tidak cukup.”

Kata-kata itu seperti pisau, tapi Sa sudah bersiap. Di hatinya, sudah ada ruang untuk kecewa. Tapi bukan benci. Tidak pernah benci.

“Jadi ini…” Sa menggantung kata-katanya. Ko melanjutkan, “Ini cukup sampai di sini.”

Tak ada pelukan perpisahan. Tak ada tangisan. Hanya angin yang diam-diam menghapus kenangan.

Sa berjalan pergi tanpa menoleh. Tapi dalam hatinya, “Ko tetap akan Sa ingat… sebagai cinta yang pernah Sa jaga sungguh-sungguh.”

Bagian 6: Sa bukan Lagi tempat Ko cari Bahagia

Terlalu baik ko pung cara, terlalu manis ko pung kata—hingga sa sempat lupa, jauh dalam hati ini sudah lama retak.

Sa masih ingat pertama kali torang baku sayang. Senyummu, caramu bicara pelan, bikin sa rasa dunia aman-aman saja. Seolah semua luka masa lalu sudah dibayar lunas dengan satu kalimat dari ko: “Ko sayang sa.”

Tapi nyatanya, itu cuma manis di awal. Di dalam hati ini, sa sebenarnya tau. Ada yang ganjil. Tapi sa paksa bertahan, demi satu hal: kasih sayang bisa menyembuhkan.

Hari-hari berlalu, dan luka itu malah makin dalam. Bukan karena orang lain—tapi karena ko. Karena semua janji yang sa kasih, ternyata kosong. Karena semua pelukan, ternyata cuma pengalihan.

Ko terlalu jauh su melangkah. Dan saat sa coba tarik ko kembali, ko pura-pura berlagak duri dalam daging. sa masih bisa tarima. Biarpun itu harus dengan air mata, sa rela akhir cerita ini sesuai ko pung mau.

Tapi Tuhan lebe tau.

Dari sepanjang kisah yang torang jalan sama-sama, yang paling terluka itu sa. Karena sa terlalu percaya. Karena sa terlalu banyak maafkan. Karena sa pikir kasih saying yang bisa ubah segalanya.

Sekarang sa sadar.

sa bukan lagi tempat ko cari bahagia.

Dan ko, bukan lagi alasan sa harus pulang.

Biarlah semua kenangan tinggal di belakang. sa mau pergi jauh-jauh dari semua kisah ini.


Bagian 7: Bab Khusus — Aku yang Temani Kamu Punya Susah, Dia yang Nikmati Kamu Punya Kesuksesan

Jogjakarta, 2010. Perempuan itu masih muda, baru dua tahun meninggalkan tanah kelahirannya di Papua. Di kota pelajar itu, ia merantau demi cita-cita. Tapi tubuhnya melemah. Sakit usus buntu. Sering pingsan. Tak kuat berjalan jauh.

Keluarganya jauh di Papua. Tidak ada yang mendampingi di kota asing ini, kecuali satu orang: seorang pria yang diam-diam telah menjadikannya dunia. Si pria itu menemaninya ke rumah sakit Bethesda, berjaga sepanjang malam, bahkan ketika dirinya sendiri tak punya banyak. Ia rela menunda kuliahnya, bahkan berhenti—hanya agar bisa mengurus si perempuan.

Ketika hari operasi tiba, ia yang menandatangani surat tindakan. Ia yang menggenggam tangan si perempuan saat tubuhnya lemas pasca operasi.

Lalu waktu berjalan. Si pria tidak lanjut kuliah. Si perempuan sembuh, lalu bangkit. Ia berjanji: “Kalau nanti sa sukses, ko tetap beta bawa. Sa mau kawin ko.”

Janji itu melekat dalam dada pria itu, seperti iman yang terus dijaga. Tapi kenyataan pelan-pelan berubah. Si perempuan mulai sibuk. Sibuk dengan dunia barunya, dengan teman-teman barunya, dengan dunianya yang mulai bercahaya.

Si pria tetap di tempat yang sama, memikul impian yang tak jadi nyata. Enam tahun tinggal bersama, tanpa ikatan sah, tanpa arah pasti.

Lalu datang hari itu: si perempuan meninggalkan rumah. Diam-diam. Tak ada perpisahan. Hanya pesan pendek: “Sa mau fokus urus hidup sa.”

Tahun-tahun kemudian... Mereka tinggal di kota yang sama, tapi seperti dua semesta yang tak lagi bersentuhan. Si pria kerja serabutan. Kadang jadi tukang cat, kadang kerja di proyek talut tanah longsor pinggir jalan. Tangan kasarnya mencangkul tanah basah sementara matahari membakar punggungnya.

Dan suatu sore, saat ia sedang menata batu di pinggir jalan, mobil SUV berhenti beberapa meter dari tempatnya berdiri. Dari balik kaca, dia melihatnya lagi. Si perempuan.

Rambutnya rapi, kacamatanya elegan, wajahnya bercahaya oleh pencapaian yang dulu mereka impikan bersama.

Si pria menunduk. Tidak ingin memandang terlalu lama. Tapi dalam hatinya, ia tahu: “Beta yang temani ko punya susah, dia yang nikmati ko punya sukses.”

Tak ada kata. Tak ada sapaan. Hanya kenangan yang menghantam lebih keras dari debu dan matahari siang itu.

Bagian 8: Rumah yang Tidak Pernah Selesai

Kami mulai dari satu impian kecil: punya rumah sendiri. Tidak besar, tidak mewah—cukup untuk berteduh dari hujan, cukup untuk tempat letakkan cinta yang kami rawat bertahun-tahun.

Tahun 2015 kami mulai bangun. Dinding bata merah disusun pelan-pelan. Kami bawa semen sendiri, angkat pasir sama-sama. Kalau siang terlalu panas, kami berhenti sebentar duduk di bawah pohon dekat fondasi. Lalu lanjut lagi.

Kadang kami bercanda, “Nanti dapur di sini, kamar tidur dua, terus sa tanam bunga di depan.” Dan dia hanya tersenyum, ambil ember air, dan terus bekerja.

Tapi seperti cerita yang kehabisan tinta di tengah halaman, rumah itu tak pernah selesai.

Awalnya sibuk, lalu saling lupa. Awalnya cuma istirahat sebentar, lalu jadi tidak datang lagi. Awalnya hanya retak kecil, lalu jadi diam yang panjang.

Tahun-tahun berlalu. Kami tetap di kota yang sama. Tapi tidak di hati yang sama. Rumah itu masih ada—dinding separuh berdiri, cat belum pernah menyentuh.

Aku kadang lewati tempat itu. Rumput tinggi tumbuh liar di pekarangan yang dulu kami rancang. Dan aku hanya bisa menunduk, karena aku tahu: rumah itu seperti cinta kami—dibangun bersama, tapi dibiarkan terbengkalai.

Lima tahun bukan waktu sebentar. Tapi kadang, yang kita rawat dengan sepenuh hati, tetap bisa menjadi sesuatu yang kita abaikan pada akhirnya.

Dan sejak itu, kitong dua terabaikan, bersama dengan rumah yang tak pernah selesai.


Ko Bukan Sa Pung Tempat Bahagia

Terlalu baik ko pung cara. Terlalu manis ko pung kata. Itu yang bikin sa bertahan—walau jauh di dalam hati, luka sudah lama berakar.

Awalnya, sa kira sa bisa. Sa kira, cinta bisa tumbuh dari kebiasaan, dari semua perhatian yang ko kasih. Tapi makin lama, sa sadar: Yang sa pertahankan, bukan rasa, tapi kewajiban untuk tetap terlihat baik-baik saja.

Setiap kali ko bilang “sa cinta ko”, sa cuma bisa senyum dan tunduk. Bukan karena bahagia, tapi karena sa tahu, sa cuma ikut ko pung mau. Ko yang mulai, ko yang buat aturan. Sa cuma jalani.

Tiap kali sa ragu dan tanya, “Ko benar sayang sa?” Ko selalu jawab pakai kata-kata manis. Tapi hati sa... tak pernah benar-benar merasa aman. Selalu ada yang ganjil. Selalu ada ruang kosong yang ko seng pernah mau isi.

Dan sekarang, waktu semua sudah terlalu jauh, ko mulai berpaling. Seolah semua yang sa lakukan itu bukan hal besar. Seolah sa ini cuma bagian kecil dari hidup ko yang bisa dilupakan begitu saja.

Ko pura-pura lupa. Ko bicara seolah-olah semua baik-baik saja. Dan sa? Sa menangis dalam diam. Sa diamkan semua, karena sa takut jadi beban. Karena sa masih ingin ko bahagia, meski bukan dengan sa.

Seng apa-apa, sa tarima. Biar air mata yang bicara, biar luka ini jadi saksi. Sa rela sakit, asal ko dapat apa yang ko mau.

Tapi satu hal ko harus tahu...

Dari sepanjang kisah, sa yang paling terluka. Karena dari awal, sa bertahan hanya untuk ikut ko pung kemauan. Bukan karena cinta itu benar-benar tumbuh dari hati.

Kini sa mau mundur. Jauh-jauh. Biar luka ini sembuh pelan-pelan. Bodohnya sa, mudah percaya. Terlalu percaya.

Tapi sekarang sa sadar... Ko bukan sa pung tempat bahagia.


Aku Sudah Maafkan Cinta Itu

Aku tak lagi mencari penjelasan, tak lagi menimbang siapa yang salah, siapa yang benar. Ada hal-hal yang memang harus dibiarkan retak agar kita tahu — tidak semua yang pecah perlu disatukan kembali.

Kini aku belajar berjalan tanpa bayangmu, tanpa suara panggilan yang dulu terasa hangat.

Aku tak lagi marah, hanya tersenyum getir setiap kali ingat betapa dalam aku pernah mencintaimu.

Rasa sakit itu dulu seperti ombak yang tak berhenti menghantam dada,

tapi kini perlahan surut, meninggalkan pasir tenang di tepi hati yang mulai kering air mata.

Aku sudah maafkan cinta itu — bukan karena kau layak dimaafkan, tapi karena aku layak untuk tenang.

Kini aku berdiri di tepi waktu, melihat kembali masa lalu dengan mata yang berbeda: tidak lagi menangis, tidak lagi menyesal.

Hanya sebuah senyum kecil, dan bisikan lembut dalam hati:

“Terima kasih, cinta… karena pernah datang — dan karena akhirnya pergi.”


Tentang Penulis

Gedi Layu adalah penulis yang lahir dari tanah, suara, dan suasana Indonesia Timur. Cerita-ceritanya tumbuh dari akar budaya, rasa manusiawi yang dalam, dan narasi yang tak banyak disuarakan. Dalam seri Sa & Ko, ia mengangkat kisah cinta dengan bahasa yang jujur dan sederhana, seperti percakapan yang tak pernah selesai di bangku kayu, tepi pantai, atau beranda rumah.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kepada setiap hati yang memilih membaca kisah ini. Kepada mereka yang pernah mencintai dalam diam, yang bertahan meski ragu, dan yang akhirnya melepaskan dengan lapang dada.

Sumber naskah: :gedi layu

© 2025 Gedi Layu

No comments:

Post a Comment

-

================ =

Recent Posts

kunjungi alamat youtube

CHADOS SANGKEK ALAMAT KAMPUNG SKENDI SORSEL

Comments system

Subscribe Us

×
Chados Sangkek update
               
         
   
       
 
"CHADOS": { "SANGKEK": "DESAINER", "WEB": { "INI": "JIKA", "ADA YANG BERMINAT": "", "UNTUK PEMBUATAN WEB": ["BISA HUBUNGIN CHADOS SANGKEK "] } }