Judul : Bayang-bayang Trikora di Goa Skendi
Kabut masih pekat menyelimuti perbukitan Skendi. Embun pagi membasahi daun-daun, udara dingin menusuk tulang. Di tengah kampung yang sepi itu, deretan rumah berdiri tenang— kampung yang di kelilingi oleh batu.
Di beranda salah satu rumah, seorang pemuda bernama Nasfa duduk sambil memegang secangkir kopi panas. Uap tipis mengepul, menghangatkan wajahnya yang serius. Di pangkuannya terbuka laptop tua, layarnya menampilkan halaman kosong. Ia tengah menulis, mencoba merangkai kisah lama kampung skendi.
Dari cerita goa batu. Di hari itu, ia berniat menuliskan kembali sejarah yang hampir terlupa—sejarah tentang bagaimana Belanda menjadikan Skendi sebagai benteng pertahanan saat Trikora.
Di sisi bukit, tak jauh dari rumah warga, berderet goa-goa batu yang dalam. Itulah sebabnya Belanda dulu memilih Skendi sebagai basis pertahanan. Goa-goa itu kuat dan tersembunyi, mampu melindungi senjata, logistik, dan pasukan.
“Goa itu bukan hanya lubang batu,”
"Dari sana, Belanda mengawasi pergerakan rakyat. Mereka bertahan berbulan-bulan, memanfaatkan kegelapan goa sebagai benteng."
Kini, bertahun-tahun berlalu, goa-goa itu masih ada. Sebagian ditutupi semak. Ada cerita yang beredar di antara warga: kadang, terdengar langkah kaki dari dalam goa, atau bisikan asing di malam hari.
Nasfa menyeruput kopinya, matanya menatap ke arah bukit berkabut. Batu besar yang dikenal sebagai Batu benteng belanda berdiri tegak di puncak.
Di layar laptop, Nasfa mulai mengetik:
"Belanda jadikan Skendi benteng, karena goa batu yang banyak. Namun para pejuang Trikora berhasil merebut dengan tekad tanah ini milik kami. Dan kini, hanya bayang-bayang sejarah yang tersisa di dalam lorong batu …"
Angin pagi bertiup, membuat daun-daun bergetar gugur. Nasfa merasa seolah ada sesuatu yang mengawasinya. Ia tahu, menulis kisah ini bukan sekadar membuka lembar sejarah. Ia sedang memanggil ingatan yang mungkin ingin tetap tersembunyi di balik goa batu itu.
No comments:
Post a Comment