Judul : Ibu Maya Pulang dari Pasar Sistem Barter
_ Di sebuah tikungan sempit jalan pulang dari kampung Mambuni-Buni, Distrik Kokas, kulihat punggung seorang ibu bergerak pelan menanjak. Langkahnya tenang, sandal jepitnya menyentuh aspal yang hangat oleh matahari siang. Di punggungnya tergantung tueman, noken khas Fakfak, berisi hasil tukar dari laut. Di tangan kanannya tergenggam pangdoki, dan di tangan kirinya, tas anyaman berisi siput, kepiting, dan ikan kering.
Itulah Ibu Maya—seorang perempuan kampung yang baru saja pulang dari pasar satu-satunya yang masih terjaga dengan sistem barter.
Pasar itu bukan sekadar tempat jual beli. Pasar Mambuni-Buni adalah ruang temu antara laut dan gunung. Tempat hasil bumi dari Distrik Kramongmongga—keladi, pinang, pisang, sirih, dan tembakau negeri—ditukar dengan hasil laut dari pesisir Kokas: ikan, siput, dan keraka . Pasar ini hanya buka sekali seminggu, setiap hari Sabtu. Hari yang istimewa, hari ketika dua dunia saling mengulurkan tangan.
Aku tahu itu semua karena aku kecil dan besar di Kampung Pikpik, sebuah kampung di pegunungan Fakfak. Aku tamat SD YPK ,Ayahku seorang guru, mengajar di sekolah yang ruang kelasnya berdinding tembok dan beratap seng, berisik kalau hujan. Dulu, sebelum Pasar Mambuni-Buni ramai, ada juga pasar Pendek. Tapi jaraknya terlalu jauh, dua kilometer lebih harus ditempuh dengan berjalan kaki menuruni gunung yang curam. Akhirnya, pasar itu perlahan tidak difungsikan lagi..
Ibu Maya adalah bagian dari ingatan itu. Ia tak pernah mengeluh soal jarak. Tak pernah memperhitungkan apa yang ia dapatkan secara angka. Karena baginya, barter bukan sekadar sistem ekonomi. ini adalah cara hidup: saling percaya, saling menjaga, saling tukar hidup dengan damai.
Ketika di rumah, ia akan memotong pangdoki seukuran rokok. Serat-serat dalamnya akan dikupas perlahan, lalu digulung bersama tembakau negeri, di isap di pinggir tungku. ditemani secangkir kopi pahit, sambil menatap senja di atas bukit, memikirkan pasar Sabtu berikutnya.
Kini aku sudah jauh—tinggal di kota lain, jejak jalan yang tak kulalui lagi . Tapi saat kulihat kembali foto ini, jalan sempit, noken, pangdoki, dan cahaya siang yang jatuh di tanah Fakfak—segala memori masa kecilku terukir kembali.
Aku tidak hanya melihat ibu yang berjalan. Aku melihat diriku sendiri. Seorang anak kampung Pikpik, yang masih percaya: bahwa hidup tetap berjalan, selama masih ada orang-orang seperti Ibu Maya yang setia pada nilai kepercayaan dan ketulus sesama.
No comments:
Post a Comment