Secangkir Kopi di Kampung Skendi

Judul :  Secangkir Kopi di Kampung Skendi

Pagi baru saja merekah di Kampung Skendi. Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan. Di beranda rumah panggung yang sederhana, saya duduk sendirian. Di depan saya, secangkir kopi hitam mengepulkan uap hangat.

Di Skendi, kopi bukan sekadar minuman. Ia teman di kala pagi, pengiring cerita di sore hari, dan sahabat setia saat malam sunyi.

Saya pandangi cangkir itu. Hitam warnanya. Banyak yang mungkin melihat warna gelap sebagai pertanda sesuatu yang buruk. Tapi kopi ingin bercerita: bahwa yang hitam tak selalu kotor, dan yang pahit tak selalu menyedihkan.

Di kampung ini, di antara pohon di sela batu, kopi mempertemukan banyak orang. Tak peduli derajat—di hadapan kopi, semua duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.

Di beranda rumah ini, sudah berapa kali obrolan sederhana berujung persahabatan sejati? Semua berawal dari secangkir kopi.

Saya seruput perlahan. Pahit terasa di ujung lidah, tapi kemudian, kehangatan mengalir dalam dada. Sabar itu memang seperti menyeruput kopi: pahit di awal, nikmat di ujung.

Hidup pun demikian. Tak selalu manis. Kadang penuh getir, kadang penuh tantangan. Tapi seperti kopi, yang paling penting adalah kejujurannya. Kopi tidak menutupi pahitnya dengan berlebihan. Ia tetap jadi dirinya sendiri.

Saya belajar satu hal pagi ini: di dunia yang kadang penuh kepalsuan, cukuplah kita jadi seperti kopi. Apa adanya. Tak perlu pura-pura demi terlihat istimewa.

Hujan bisa saja turun deras di Skendi. Atau matahari membakar tanah. Tapi kopi tetap kopi. Diminum dalam segala suasana. Sama seperti hidup yang harus dijalani, apa pun cuacanya.

Dan di rumah kecil kampung Skendi ini, saya menyesap pelan-pelan. Merenungi, betapa hidup ini sesungguhnya sederhana. Seperti secangkir kopi. Nikmati saja setiap tegukannya. Karena di dalam pahit, seringkali tersimpan rasa yang paling nikmat.