Judul: Aku tetap di sini—merunduk seperti padi
_ Semakin Berisi, Semakin Merunduk
Dipuji tak akan terbang, dihujat tak akan tumbang.
Begitu kata orang bijak. Dan sekarang, aku mulai mengerti artinya—bukan sekadar nasihat kosong, tapi kenyataan yang kutemui setiap hari.
Aku anak rantau. Dulu pernah kuliah di Jogjakarta, kota pelajar yang hangat dan penuh warna. Di sanalah aku mengenal seseorang. Kami berjalan bersama, menulis mimpi-mimpi kami di atas langit Jogja. Lima tahun kami saling jaga, saling kuatkan, hingga hidup menuntunku pergi jauh: ke Sorong Selatan.
Bukan kota kelahiranku. Bukan tanah yang familiar. Tapi aku ke sini karena mengikutinya—seseorang yang kupikir akan terus berjalan bersamaku. Nyatanya, takdir punya caranya sendiri untuk membuat kisah patah di tengah jalan.
Ia pergi, meninggalkanku sendiri di tempat yang dulu ia bawa aku datang.
Kini, aku bertahan di tanah ini. Bukan sebagai pekerja di kantor , tapi sebagai pemecah batu. Setiap pagi aku angkat linggis, hidup dari keringat dan debu, bukan lagi dari rencana akademis yang dulu sempat kubangun.
Banyak yang mungkin memandang rendah. Mungkin juga ada yang mencibir. Tapi aku tidak terbang ketika dulu dipuji, dan aku juga tidak tumbang saat kini dihujat. Aku tetap di sini—merunduk seperti padi yang berisi.
Aku belajar, hidup bukan tentang siapa yang paling tinggi kepala, tapi siapa yang paling kuat bertahan dengan hati rendah.
Aku tidak menyesal ikut ke sini. Meski ia sudah tak lagi di sisiku, tanah ini tetap jadi tempatku berpijak. Aku sedang menanam ulang mimpi. Dengan batu-batu yang kupukul tiap hari, semoga suatu hari bisa jadi pondasi baru—untuk hidup yang lebih jujur dan tangguh.
Karena seperti padi, aku ingin tetap tunduk. Bukan kalah. Tapi karena aku tahu: yang kuat tak selalu yang bersuara paling nyaring, tapi yang tetap berdiri meski dalam diam.
No comments:
Post a Comment