Judul: Pergilah, Aku Baik-baik Saja
_ Malam itu, langit di Kampung Skendi tampak indah. Bintang-bintang di balik awan tipis. Di beranda rumah , Maya duduk diam. Angin malam menyapu pelan helaian rambutnya.
Randi berdiri dengan tas ransel di tangan—berisi pakaiannya.
“Aku harus pergi, Maya,” ucap Randi perlahan. Suaranya seperti bayangan lampu yang bergoyang tertiup angin.
“Karena kita tak harus bersama. Dan... aku tidak bisa tinggal di sini lagi.”
Maya menunduk. Ia tak berani menatap Randi secara langsung. Ia tahu, jika matanya bertemu mata laki-laki itu, seluruh pertahanannya akan runtuh. Tapi cinta sejati, ia mengerti, bukan soal menggenggam selamanya, tapi tahu kapan harus melepaskannya.
“Pergilah, Randi. Aku baik-baik saja,” kata Maya, walau dadanya terasa remuk oleh kata-katanya sendiri.
“Aku tidak akan menahanmu. Tidak akan menahan kakimu mengejar ribuan impianmu. Aku tidak akan memaksa kau tinggal di sini.”
Suaranya lirih, Matanya mulai basah, tapi senyumnya tetap terjaga.
“Meskipun ucapanmu tadi mengikat cerita kalbu kita… walau hatiku pecah berkeping-keping, tak perlu kau tahu itu. Biarlah air mata ini mengalir diam-diam dalam malam yang sunyi.”
Randi menatap Maya. Di dalam hatinya, ada perang antara mimpi dan kenyataan, antara pergi dan tinggal. Tapi ia tahu: Maya bukan perempuan yang bisa dipertahankan dengan janji rapuh.
“Lihat aku, Randi,” ujar Maya akhirnya, menatap lurus. “Lihat tatapan yang mengikhlaskanmu. Lihat diriku yang bangga padamu… Menjemput kesuksesanmu di tanah yang jauh, dan mungkin... bersama seseorang di sana.”
“Kamu tetaplah kamu. Hidupmu, mimpi-mimpimu adalah milikmu. Dan hanya kamu yang bisa meraihnya.”
Randi menunduk. Bibirnya gemetar, ingin berkata “terima kasih” atau sekadar “maaf”, tapi semua lumpuh di kerongkongan.
Maya berdiri. Ia menatapnya sekali lagi: senyum tipis, mata yang basah, dan hati yang tak lagi bergantung pada harapan.
“Pergilah, Randi. Aku tidak akan memaksamu untuk terus di sini. Aku tidak akan meminta kau tinggal... dalam kisah yang tak direstui ini.”
Dan Randi pun melangkah pergi. Di balik langkahnya yang mantap, ia tahu—di belakang sana, ada Maya yang akan diam-diam berdoa untuknya setiap malam.
Meski orang tua Maya tak pernah merestui cinta mereka, dan pintu rumah itu kini tertutup selamanya, Maya telah membuktikan satu hal: bahwa keikhlasan adalah bentuk tertinggi dari sebuah cinta dan persahabatan.
Randi berdiri dengan tas ransel di tangan—berisi pakaiannya.
“Aku harus pergi, Maya,” ucap Randi perlahan. Suaranya seperti bayangan lampu yang bergoyang tertiup angin.
“Karena kita tak harus bersama. Dan... aku tidak bisa tinggal di sini lagi.”
Maya menunduk. Ia tak berani menatap Randi secara langsung. Ia tahu, jika matanya bertemu mata laki-laki itu, seluruh pertahanannya akan runtuh. Tapi cinta sejati, ia mengerti, bukan soal menggenggam selamanya, tapi tahu kapan harus melepaskannya.
“Pergilah, Randi. Aku baik-baik saja,” kata Maya, walau dadanya terasa remuk oleh kata-katanya sendiri.
“Aku tidak akan menahanmu. Tidak akan menahan kakimu mengejar ribuan impianmu. Aku tidak akan memaksa kau tinggal di sini.”
Suaranya lirih, Matanya mulai basah, tapi senyumnya tetap terjaga.
“Meskipun ucapanmu tadi mengikat cerita kalbu kita… walau hatiku pecah berkeping-keping, tak perlu kau tahu itu. Biarlah air mata ini mengalir diam-diam dalam malam yang sunyi.”
Randi menatap Maya. Di dalam hatinya, ada perang antara mimpi dan kenyataan, antara pergi dan tinggal. Tapi ia tahu: Maya bukan perempuan yang bisa dipertahankan dengan janji rapuh.
“Lihat aku, Randi,” ujar Maya akhirnya, menatap lurus. “Lihat tatapan yang mengikhlaskanmu. Lihat diriku yang bangga padamu… Menjemput kesuksesanmu di tanah yang jauh, dan mungkin... bersama seseorang di sana.”
“Kamu tetaplah kamu. Hidupmu, mimpi-mimpimu adalah milikmu. Dan hanya kamu yang bisa meraihnya.”
Randi menunduk. Bibirnya gemetar, ingin berkata “terima kasih” atau sekadar “maaf”, tapi semua lumpuh di kerongkongan.
Maya berdiri. Ia menatapnya sekali lagi: senyum tipis, mata yang basah, dan hati yang tak lagi bergantung pada harapan.
“Pergilah, Randi. Aku tidak akan memaksamu untuk terus di sini. Aku tidak akan meminta kau tinggal... dalam kisah yang tak direstui ini.”
Dan Randi pun melangkah pergi. Di balik langkahnya yang mantap, ia tahu—di belakang sana, ada Maya yang akan diam-diam berdoa untuknya setiap malam.
Meski orang tua Maya tak pernah merestui cinta mereka, dan pintu rumah itu kini tertutup selamanya, Maya telah membuktikan satu hal: bahwa keikhlasan adalah bentuk tertinggi dari sebuah cinta dan persahabatan.
No comments:
Post a Comment