Suara Mesin Breker Batu

Judul: Suara Mesin Breker Batu

_ Pagi masih lembap, langit sedikit berawan, dan embun belum sepenuhnya menguap dari dedaunan. Hari ini hari Sabtu—bagi banyak orang, waktunya istirahat. Tapi tidak bagi saya. Sabtu tetap hari kerja. Hari untuk bertahan.

Jam menunjukkan pukul delapan saat saya mulai menyiapkan peralatan. Kabel listrik saya gulung perlahan, memastikan tak kusut. Linggis saya sandarkan di batu besar. Mesin breker, yang sudah jadi sahabat harian, saya angkat perlahan dan letakkan di atas bongkahan batu besar—tempat kerjanya hari ini. Di situ, ia akan mengaum, menghantam, dan memecah batu-batu keras jadi kepingan yang bisa dijual.

Begitu mesin menyala, suara raungannya membelah pagi. Saya berdiri tegak di bawah terik matahari yang makin meninggi, mata menyipit, tangan mulai bekerja. Batu demi batu saya susun, saya arahkan ke bawah mesin. Debu beterbangan, serpihan beterjangan. Tak ada kata santai; semuanya penuh konsentrasi.

Dari pagi hingga sore, tak terasa waktu bergeser. Hasilnya: sekitar dua sampai tiga ret mobil pecahan batu. Belum cukup. Ada pesanan lima ret. Tapi ini jalan hidup saya, dan saya harus tetap bergerak.

Saat matahari mulai turun, dan suara mesin akhirnya padam, saya duduk sejenak di atas batu yang sudan di pecah tadi. Pakaian saya basah oleh keringat dan tangan pegal.

Saya tahu, hidup tak selalu lunak. Tapi seperti batu yang keras pun bisa retak dengan usaha, begitu juga hari-hari saya. Perlahan, tapi pasti. Satu ret demi satu ret batu tersajikan.