Judul : Begini saja sudah baik
_ Pagi Hari di Kampung Skendi, suara ayam terdengar dari jauh. kampung terlihat tenang.
Di ujung tanjakan kecil, ada pondok kecil dengan lereng gunung batu di sampingnya . Orang kampung menyebutnya Batu Pintu. mungkin dulu ada dua batu yang berdiri menyurupai pintu. Kini di situ orang sering duduk, menunggu hujan reda, atau menunggu seseorang yang tak kunjung datang.
Dan pagi itu, aku duduk di atas pondok itu—sendiri, ditemani secangkir kopi hitam . Uapnya menari pelan di udara dingin. Rasanya pahit, tapi hangat. Seperti hidup yang tak selalu manis, tapi selalu dilewati.
“Masih sendiri, Gedi?” tanya Pak randi yang lewat sambil bersepeda motornya.
Aku tersenyum dan mengangguk. Di kampung ini, pertanyaan sederhana selalu menyentuh lebih dalam daripada yang dimaksudkan.
Aku tidak menjawab panjang. Karena bagaimana aku harus menjelaskan bahwa aku tidak benar-benar sendiri? Di sini, bersama pagi, secangkir kopi, dan batu yang diam tapi sabar, aku merasa ditemani.
Batu ini menyimpan banyak cerita dan dari langkah yang tenang.
Aku menyeruput kopi pelan-pelan. Di hadapanku, kabut menutupi di balik pohon pinang. Jauh di sana, matahari mencoba menembus awan. Tak ada notifikasi. Tak ada suara mesin. Hanya suara alam dan jantung yang berdetak perlahan.
Kupikir, mungkin bahagia bukan soal tempat yang ramai atau impian yang megah. Tapi soal bisa duduk diam di satu tempat, dan berkata pada diri sendiri:
“Aku cukup. Hari ini, begini saja sudah baik.”
No comments:
Post a Comment