Hujan di Ujung Jalan beralaskan koba-koba sebagai payung, seorang ibu pulang dari kebun di hutan rimba Papua, Kampung Skendi
Di tengah hutan rimba, di jalan setapak yang menghubungkan kebun dengan kampung, tampak searing ibu melangkah perlahan. Di bahunya tergantung noken anyaman penuh dengan hasil kebun—ubi, daun singkong, buah merah. Di atas kepalanya, terbentang koba-koba, anyaman daun tikar yang dijadikan payung . koba - koba juga multifunsi,bisa menyimpan barang atau map aspirasi yang di masukan kedalam koba-koba.
Namanya Mama maya.
Hutan rimba Papua bukan tempat yang asing baginya. Sejak gadis, sudah puluhan tahun ia berjalan di jalur ini—ke kebun, ke sungai, atau ke dalam rimba untuk mencari bahan makanan. Hujan seperti hari ini, bukan halangan. Ia hanya tersenyum kecil, membetulkan ikatan koba-koba agar tak roboh diterpa angin.
Tanah hitam becek, akar-akar pohon licin. Setiap langkah harus dijaga agar tak tergelincir. Tapi Mama maya tahu setiap sudut jalan ini, bahkan di tengah hujan lebat. Bagi orang kampung Skendi, hutan dan jalan ini adalah bagian dari hidup, bagian dari darah mereka.
Sesekali ia berhenti, menarik nafas panjang, menatap jalan yang menurun. Hujan menderu di atas pepohonan tinggi, menciptakan irama alam yang akrab di telinga.
Tak lama, suara anak-anak mulai terdengar samar. Rumah-rumah panggung Kampung Skendi muncul di kejauhan, di balik tirai hujan. Di beranda, cucu-cucunya berteriak riang melihat sosok Mama maya mendekat di bawah koba-koba.
“Mama… Mama pulang!” teriak mereka.
Dengan senyum lelah namun hangat, Mama maya mempercepat langkah. Di ujung jalan yang berlumpur tanah hitam, di bawah hujan yang masih deras, ia membawa pulang hasil bumi, juga cinta yang tulus untuk keluarganya.
Di kampung kecil yang bersandar pada rimba Papua, begitulah hidup berjalan—beriringan dengan alam, dalam hujan, dalam panas, dengan koba-koba sebagai pelindung, dan hati yang kuat sebagai penuntun.
No comments:
Post a Comment