_Merunduk Seperti Padi
dari seorang perantau yang memilih bertahan
Aku tak lagi duduk di ruang kelas
dengan kemeja rapi dan pena di tangan.
Kini aku duduk di kursi plastik,
di kamar berdinding papan,
mengetik pelan di sela-sela keringat dan laporan.
Aku pernah kuliah di Jogjakarta,
menyusun mimpi dengan seseorang yang dulu kusebut rumah.
Bersama, kami melangkah ke Temi,
ke tanah yang tak kutahu namanya dulu:
Kupikir kami akan terus berjalan.
Tapi hidup tak selalu bicara soal rencana.
Ia pergi—dan aku tetap tinggal.
Di tempat yang dulu ia bawa aku datang.
Sekarang, aku bukan lagi akademisi.
Aku tukang batu. Pemecah sunyi.
Dengan linggis dan palu,
aku membangun bukan gedung,
tapi harga diri dan kesadaran baru.
Banyak yang mungkin mencibir.
"Sayang sekali, pernah diJogja kok begitu."
Tapi mereka tak tahu:
dipuji dulu aku tak terbang,
dihujat hari ini aku tak tumbang.
Aku belajar dari padi:
yang paling berisi justru merunduk.
Aku merunduk bukan kalah,
tapi agar aku tahu tanah yang kupijak.
Agar aku tahu dari mana aku tumbuh.
Di kamar ini—dengan printer tua,
kasur sempit, dan kertas berserakan,
aku terus menanam mimpi,
yang mungkin tumbuh lambat,
tapi akarnya akan kuat.
Karena aku tahu,
yang bersuara paling nyaring bukan yang paling kuat,
tapi yang tetap berdiri, meski dalam diam.
dari seorang perantau yang memilih bertahan
Aku tak lagi duduk di ruang kelas
dengan kemeja rapi dan pena di tangan.
Kini aku duduk di kursi plastik,
di kamar berdinding papan,
mengetik pelan di sela-sela keringat dan laporan.
Aku pernah kuliah di Jogjakarta,
menyusun mimpi dengan seseorang yang dulu kusebut rumah.
Bersama, kami melangkah ke Temi,
ke tanah yang tak kutahu namanya dulu:
Kupikir kami akan terus berjalan.
Tapi hidup tak selalu bicara soal rencana.
Ia pergi—dan aku tetap tinggal.
Di tempat yang dulu ia bawa aku datang.
Sekarang, aku bukan lagi akademisi.
Aku tukang batu. Pemecah sunyi.
Dengan linggis dan palu,
aku membangun bukan gedung,
tapi harga diri dan kesadaran baru.
Banyak yang mungkin mencibir.
"Sayang sekali, pernah diJogja kok begitu."
Tapi mereka tak tahu:
dipuji dulu aku tak terbang,
dihujat hari ini aku tak tumbang.
Aku belajar dari padi:
yang paling berisi justru merunduk.
Aku merunduk bukan kalah,
tapi agar aku tahu tanah yang kupijak.
Agar aku tahu dari mana aku tumbuh.
Di kamar ini—dengan printer tua,
kasur sempit, dan kertas berserakan,
aku terus menanam mimpi,
yang mungkin tumbuh lambat,
tapi akarnya akan kuat.
Karena aku tahu,
yang bersuara paling nyaring bukan yang paling kuat,
tapi yang tetap berdiri, meski dalam diam.
No comments:
Post a Comment