Judul : Semua Tampak Tenang, Tapi Sebenarnya Retak
Di antara siang dan malam yang tak lagi punya batas, aku berdiri disini.Tetapi hati ini tetap gaduh. Aku tidak berbicara. Hanya terdiam. Tapi diamku bukan karena damai—melainkan karena tak tahu lagi harus berkata apa. Tangan ini mengguratkan sesuatu di tanah: jejak rasa sakit yang terlalu lama dibiarkan menetap.
Aku pernah percaya pada Kedamaian. Ia datang seperti angin sore yang lembut. Memburu dengan kata manis, memeluk dengan janji. Tapi akhirnya menikam diam-diam. Meninggalkan luka yang tak bisa dilihat, hanya dirasakan dalam keheningan.
Namun, meski begitu, hatiku belum mati. Masih ada cahaya kecil yang menyala dalam dada. Aku tetap berjalan. Sebab hidup, meski berat, harus tetap dijalani.
Langkah kakiku menelusuri tanah yang katanya kaya. Kaya akan emas, kayu, tambang, dan kekayaan alam yang menumpuk. Tapi mengapa rakyatnya tetap hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian di tanah yang katanya makmur? Mengapa anak-anaknya bertelanjang kaki pergi ke sekolah, dan orang tuanya sibuk menutup utang?
Aku melihat bahaya bukan dari senjata, tapi dari mulut-mulut manis yang berbisa. Dari kata-kata yang terdengar bijak namun penuh racun.
Negeri ini begitu terhubung ke dunia luar. Sinyal kuat, koneksi lancar. Tapi tanah kelahiranku—kampungku—tertinggal dalam gelap. Dan perlahan, kami yang lahir dari tanah ini menjadi minoritas di tempat sendiri. Seperti dikepung oleh aturan yang dibuat tanpa dengar suara kami. Seperti masuk ke dalam lingkaran tanah terlarang, di mana kami hanya boleh ada, tapi tak boleh bicara.
Aku sering berpikir: mungkin damai ini hanya fatamorgana. Kedamaian yang dikabarkan di berita TV dan diucap para pejabat, tapi tak pernah benar-benar kami rasakan.
Ada tembok tak terlihat di antara kita. Dibuat dari peraturan yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Mereka bebas menindas, dan kami dibatasi untuk sekadar bertanya.
Begitulah aku terdiam—bukan karena setuju, tapi karena aku tahu: kadang, suara bisa dibungkam lebih tajam dari peluru.
Aku hidup dalam kedamaian palsu. Semua tampak tenang, tapi sebenarnya retak. Dan hari ini, dalam keheningan ini, aku mulai menyadari: diamku bukan akhir. Ini awal dari pertanyaan yang harus terus kulawan. Sebab aku, meski sendiri, tak ingin terus terjebak dalam sandiwara +62.
No comments:
Post a Comment