Judul: Di ujung Pasar Ampera
_Angin pagi berembus , suara ombak di tepi dermaga ampera. Sa berdiri di ujung dermaga, tangan menggenggam sebatang rokok yang sudah setengah terbakar. Pandangannya kosong ke arah jalan masuk demarga, seolah berharap ada jawaban di ujung sana.
"Ko tra terlihat lagi," tanyaku dalam hati.
Ko, perempuan yang dulu selalu duduk di situ, di bangku papan sebelahnya, kini hanya tinggal kenangan. Dulu, tiap pagi kitong berbagi teh panas di warung seberang jalan, cerita-cerita lucu, dan harapan tentang rumah kecil di atas bukit—jauh dari suara motor dan bisik-bisik tetangga.
Tapi semuanya berubah. Bukan karena ribut besar. Bukan juga karena pengkhianatan seperti di film. Hanya rasa... yang hilang Seperti cat perahu tua yang berlaha mengelupas dimakan waktu.
Dulu Pelan-pelan, Ko yang duluan menjauh. . Mulai jarang balas pesan. Mulai pura-pura tidak lihat kalau Sa lewat depan rumah. Sampai akhirnya, Sa sendiri berhenti berharap.
“Seng gampang par ulang carita,” Sa termenung. “Se pikir beta ni sapa?”
Sa tahu, tidak semua cinta bisa dipertahankan. Kadang, meski hati masih ingin, logika harus jalan lebih dulu. Sa tidak marah, tidak juga dendam. Tapi sa juga tidak mau jadi boneka.
“Sa harap,Kalau dong tanya beta su dimana,” , “bilang saja seng kanal deng beta.”
Sa juga tidak mau lagi jadi bahan cerita di warung kopi sini. Tidak mau jadi topik di grup kamong pu keluarga . Tidak mau dipaksa jelaskan kenapa dia masih sendiri, atau kenapa dia berhenti menyapa.
“Ko su biking luka,” , yang pergi tanpa pamit, senyum terakhir yang dingin seperti hujan malam. “Macam seng ada rasa cinta yang singgah par beta.”
Kalau memang harus pisah, bicara baik-baik. Jangan diam, lalu pergi seperti angin.
“sa tra marah,. “Mar kalau mau pisah, bicara bae, sayang e…”
Sa menghela napas. Tetes hujan mulai turun satu-satu. Langit di pasar ampera mendung, seperti sa pu hati yang su tawar ini.
“Lihat se buang muka. Lapis deng ludah. Seng apa-apa…”
Sa tau, sa bukan dari keluarga berada. ayah ku petani dan mama hanya penjual sayur di pasar. Kadang makan, kadang cukup minum. Tapi sa pernah kasih nyaman ko perasaan..
"Memang beta terlahir dari orang yang seng punya," bisik dalam hati, nyaris seperti mo berdoa.
Angin bertiup lebih kencang. Sa melempar puntung rokoknya ke laut. Membiarkannya hanyut, seperti sa perasaan untuk Ko.
“kalau ko su bahagia,” . “Itu doa par ale…” Dan dengan itu, Sa melangkah pergi. Bukan untuk lari, tapi untuk berdiri sendiri. Di tempat lain, mungkin ada cinta yang lebih jujur. Yang tidak perlu ada drawa, tidak perlu dijelaskan. Cukup saling tau, cukup saling jaga.
Jika suatu hari nanti orang bertanya, Sa sekarang di mana… ko bilang saja, su tra dikenal deng sa lagi "..
No comments:
Post a Comment