Judul: Pamit, pelan-pelan, tanpa tangis
_Sa duduk di tepi dermaga itu, tempat pertama sa dan ko duduk sambil makan papeda bungkus , angin bertiup berlahan bawa kenangan yang tidak bisa sa tahan lagi.
"Sayang, mengapa sa yang ko kasih luka?"
"ko tra pikir sa, atau memang su lupa?"
Sa tanya itu dalam hati, berulang-ulang kali, sejak ko bilang satu kalimat yang bikin dunia runtuh: "Maaf, kitong su harus tra sama-sama lagi."
Selama ini, sa anggap cinta itu kita dua pung rumah. Kita sama-sama bangun,Tapi ternyata, selama ini, ko anggap sa siapa? Cuma tempat mampir waktu capek? Tempat singgah sementara tunggu kapal berikut?
Sa ingat waktu hujan deras, ko demam, dan sa lari ke rumah buatkan air jahe panas lalu bawa untuk ko. trus ko bilang, “Hanya sa yang selalu ada.” Tapi mungkin sekarang, ko lupa itu. Mungkin sekarang ko su genggam tangan yang lain.
"Sa sadar sekarang, Sa bukan siapa-siapa."
Kalimat itu terasa pahit, tapi justru di situlah akhirnya sa mengerti arti mengalah. Bukan karena sa lemah, tapi karena sa terlalu sayang.
"Mengalah, asal par ko bahagia."
Sa orang pertama yang ko bilang cinta. Orang pertama yang ko peluk waktu menangis. Tapi sa juga yang sekarang harus jadi orang pertama yang pamit, pelan-pelan, tanpa tangis.
"Sa su rela akhiri semua..."
Karena kadang cinta memang tidak harus saling miliki. Kadang, cinta cukup satu orang saja yang mengerti, cukup satu orang yang berjuang diam-diam, dan cukup satu orang yang rela mundur biar yang lain bisa jalan terus.
ko pung cinta sekarang tinggal di buku carita.
Cinta yang tidak berlanjut, tapi pernah nyata.
"Biar sa yang terluka, asal ko bisa bahagia."
Dan dengan langkah pelan, sa tinggalkan dermaga itu.
sa tinggalkan semua tawa, semua pelukan, semua janji.
Karena kadang, cinta sejati itu bukan tentang bersama…
Tapi tentang melepaskan jika su tidak sejalan lagi.
No comments:
Post a Comment