Kemampuan menjilat, dalam konteks sosial dan profesional, adalah “keterampilan” seseorang untuk merendahkan diri, memuji, atau mendekati orang berkuasa demi mendapatkan keuntungan pribadi, seperti jabatan, pengakuan, atau imbalan material. Tingkat kemampuan ini berbeda-beda tergantung pada individu dan situasi.
Beberapa orang sangat ahli dalam menjilat, mereka tahu kapan harus memuji atasan, menggunakan bahasa yang halus, atau menunjukkan loyalitas yang berlebihan. Contohnya adalah seorang karyawan yang selalu setuju dengan ide-ide bosnya, meskipun ia tahu gagasan tersebut kurang efektif. Tindakannya bukan karena keyakinan, melainkan untuk menciptakan kesan bahwa ia adalah bawahan yang setia dan patut dipercaya.
Di sisi lain, ada juga individu dengan kemampuan menjilat yang lebih rendah, seperti mereka yang terlihat canggung atau terlalu terang-terangan dalam mencari perhatian. Contoh kasus ini bisa dilihat pada seseorang yang memuji atasan secara berlebihan di depan umum, sehingga niatnya menjadi terlalu jelas dan justru dianggap tidak tulus.
Kemampuan menjilat sering kali dianggap sebagai praktik yang kurang etis karena cenderung memprioritaskan hubungan pribadi dibandingkan kompetensi. Namun, dalam beberapa lingkungan kerja atau politik, praktik ini justru menjadi norma yang dianggap wajar. Misalnya, dalam organisasi yang lebih mengutamakan loyalitas dibandingkan kinerja, orang-orang dengan kemampuan menjilat yang tinggi biasanya lebih cepat mendapatkan promosi atau penghargaan.
Meskipun menjilat bisa membawa keuntungan jangka pendek, banyak yang berpendapat bahwa hal ini merugikan budaya kerja yang sehat dan meritokrasi. Dengan kata lain, kesuksesan seseorang seharusnya didasarkan pada kemampuan dan kontribusinya, bukan pada kemampuannya untuk menyanjung demi imbalan.
No comments:
Post a Comment